Kampung dan Ingatan Yang Mampir

 


Hitam. Dunia ini hitam sejak awal penciptaan. Aku pernah ditimang dalam gendongan dengan nyanyian, “lihatlah warna-warni dunia, pelangi terbit setelah hujan, embun meneteskan cat hijau setelah gelap. Takleloleloleloledung, anakku manis, jangan keluar malam, karena gelap berisi wewe gombel”. Sepanjang aku hidup, mengikuti cerita perjalanan ini, pernah selama 6 tahun tidak pernah melihat malam. Aku dan ketiga adikku mengerti, hanya malam yang mampu menyimpan kematian yang tiba-tiba. Di halaman perkampungan, kami dan 5 rumah bersaudara dalam satu wilayah, pernah mendengar kisah Inul. Perempuan yang kepalang tanggung senang bermain sampai lupa waktu, sementara malam sudah mulai pekat. Kabarnya ia menghilang dalam gelap, sementara keluarganya belum tau apa sebab Inul menghilang.

Kampungku berbentuk persegi, setiap persegi diisi oleh rumah sedarah. Kami mengenal satu sama lain, mulai dari nama, kebiasaan, dan takdir masa depannya yang dihitung oleh kepala kampung. Seorang anak lahir tidak lepas dari takdir kampungnya, juga Inul yang menghilang waktu itu. Kami memiliki hukum yang menjadi hakim atas malam hari. Malam itu, hutan telanjang, dan kakak tua bersautan. Inul sedang bermain ke pinggir kali, sambil melepas jangkar dari perahu kertas yang ia buat. Perahu yang lepas landas di perairan kali ujung cisadane, yang inul harap bisa membawa kabar tentang dunia luar kampungnya. Kampung membatasi kehidupan, sementara Inul sadar moyangnya seorang pengelana lautan.

Perahu ketas itu berlayar, Inul membayangkan dirinya berada di dalam, dengan seorang kapten teman sebangkunya yang sering bermimpi bahwa suatu hari mereka akan meninggalkan kampung ini, dan pergi ke negeri jauh tempat para nabi dilahirkan. Perahunya melintasi dua kampung, Inul berlari mengejarnya, hari itu genangan kali menguap, karena benar bulan itu hujan menutup separuh hari. 8 jam harian hujan turun dengan tempias. Sementara Inul mengejar, ia tidak menyadari sinar Mentari yang membentuk bayangannya hilang, dan digantikan bayangan sepenuhnya: bayangan malam. Penerangan hanya ada dua lampu bolham yang digunakan petani sebagai petunjuk arah setelah pulang dari sawah, jika waktu pulang mereka terlalu larut. Inul tidak terlacak, sebab ia berlari jauh dari batas lampu yang biasa warga gunakan untuk penanda. Matahari terbit dengan pancar sinar yang belum juga menyiratkan kedatangan Inul. Kedua orang tua Inul, datang mengetuk pintu setiap kampung, dengan beras di genggaman, dan dupa di kantong kanan.

“Anakku hilang. Inul hilang, tolong bantu carikan. Ia pasti diculik oleh Wewe Gombel”

Kepala kampung mengumpulkan setiap orang yang sedang luang. Mereka bersama mencari titik yang biasa digunakan sebagai persembunyian wewe gombel. Kata orang, Wewe Gombel biasa menyembunyikan korban culikannya di pucuk pohon kelapa atau di rumpun keladi. Pencarian hampir memakan waktu sehari, tapi Inul belum juga muncul. Di ujung utara kampung, Darsam seorang pria penyuka sipat mata, dipanggil oleh Kepala Desa. Hanya dia, hanya Darsam yang mampu menemukan Inul. Darsam datang dengan permintaan yang dipenuhi oleh kepala Desa, kepala kerbau, daging rendang, serta bumbu masakan nasi padang, yang konon adalah menu favorit Wewe Gombel. Di pinggiran kali tempat Inul menghilang, setelah Darsam membuka Indra keenam, benar saja ia melihat sosok hitam besar, semacam diablo. Sajian perantara Darsam siapkan, lalu segera ia berbicara kepada sosok itu . Bahasa Hantu iyu, Bahasa Minang, mungkin lantaran sajian yang disiapkan Darsam adalah bumbu nasi padang. Sosok itu menunjukkan lokasi Inul, yang benar adanya diculik wewe gombel, dengan tubuh tercangking di batang paling keras pucuk pohon kelapa.

“Astaga, jangan kamu keluar malam lagi”

“Memang kenapa?”

“Ini kami semua repot mencari kamu, kamu hilang selama 3 hari”

“3 hari? Aku baru bertemu seorang Nenek hanya 1 jam saja. Katanya nenek itu pernah tingggal di kampung ini, ribuan tahun lebih lama dibanding kita. Kata nenek, Kampung ini dulu sepenuhnya beku. Nenek bilang itu zaman es, dan setelahnya, teman-teman nenek mulai membentuk kampung setelah es mencair”

“Rupa neneknya seperti apa? Perlakuan apa yang kamu terima?”

“Tidak papa, nenek itu baik, aku di tempatnya dikasih Indomie Goreng. Kok”

Sementara Darsam meyakini itu bukan Mie, melainkan belatung.

Demikian aku tumbuh besar di kampung itu, kampung sedarah yang berisi para lelembut. Hidup tak aman berada di luar, karena hanya rumahlah tempat paling aman. Hanya saja hari ini kampungku hanya menyisakan satu rumah tua berisi kuburan halaman belakang di samping rawa, yang dahulu sering aku gunakan untuk memancing bersama teman. Rumah-rumah sekitar, hilang penduduk dan hilang tembok pembatas. Kami semua berpisah, sejak Negara memiliki program penyebaran masyarakat ke Kalimantan. Ini juga yang akhirnya mempertemukanku dengan Diana.

Aku pindah ke Pondok Ranji saat kelas menengah pertama.

Komentar