250 meter dari perempatan Bajul Mati
ke arah utara, ada jalan setapak. Sebelum masuk ke perkampungan, di kanan-kiri
jalan yang basah, ada empat petambak udang. Hari itu hujan turun cukup deras.
Mungkin para petambak ini ingin mengecek kondisi tambaknya, saya tak sempat
mampir, karena tujuan saya adalah rumah Abah Izar. Tokoh masyarakat Desa
Sidodadi yang Namanya cukup mentereng di sekitar wilayah pantai. 70 meter dari
tambak udang, di atas tebing, ada sebuah TK – saya lupa Namanya – yang cukup
menarik. Tempat bermain dan belajar anak yang dipayungi teduh beringin dengan
akar menjalar sampai ke trotoar jalan.
Bila dicatat dalam lanskap puisi
alam, sebagai berikut:
Roro kidul barangkali tertidur,
Melihat Desa yang purba,
Dan angin berdansa lentur,
Sebelum ada Negara,
Adalah Faradis yang saya temui.
Lelaki abdi Sidodadi berambut tebal, hitam dan panjang ke belakang seperti Yos,
kenalan saya di Lembaga Pers Mahasiswa. Di rumahnya, saya diantar menuju
pendopo di samping langgar, tempat teman-teman yang ingin belajar bersama
masyarakat Sidodadi. Hari itu, 16 Mahasiswa berangkat untuk berbagi di
Banjulmati. Terutama berbagi Ilmu Pengetahuan. Seorang kawan berkumis tipis,
meminta rokok alami saya yang ciut akibat jebakan hujan di perjalanan.
“Ngiup ndek ndi?” neduh dimana, maksudnya. Rama, lelaki blasteran Bali-Pasuruan, yang
sangat berbeda bila saya rasa aksen Bahasa Jawanya dengan aksen natif, bertanya
kepada saya sambil perlahan mengeluarkan asap rokoknya yang tersangkut di sela-sela
kumis.
“Ndek Bantur. Poncoku soek, tasku
rembes, wes teles kabeh kelambiku,” Jawab
saya, sembari mengingat perjalanan. Hujan memang turun sejak saya masih ada di
Sukun. Sukun-Bantur lebih dari 20 KM. Sepanjang jalan itu pula saya diguyur
hujan tanpa henti dan akhirnya memaksa berteduh di warung lalapan samping
jalan.
“Yawes, leren sek, adus,
resik-resik,” Nasehat rama sambil menyiapkan
segelas teh. Boleh dikatakan secara jujur, sebetulnya cuaca di tempat itu jauh
lebih sejuk dibanding di Kota Malang yang lebih menusuk dinginnya. Maksudnya,
sekalipun ia memberikan teh itu hanya membantu menghangatkan perut, bukan tubuh
keseluruhan.
Baru duduk sebentar, di ujung
pendopo ada lukisan. Sepertinya kanvas ukuran 40 x 60, berisi gambar suasana
alam. Cemara menjulang berjejeran menuju langit berwarna merah gradual kuning,
seolah si pelukis ingin menggambarkan kondisi maghrib. Persis lukisan teman
pramuka saya saat SMA dulu untuk mengikuti lomba melukis. Hm, boleh di kata,
lukisan alam itu, untuk ukuran masa kini terbilang kuno. Mungkin memang
pelukisnya minim akses untuk berbagi ide dalam karya. Lagipula seniman lukis
mana yang mau melukis objek alam langsung turun terjun ke daerah ini. Berbeda
dengan di kota, sekali buka Instagram, pertemuan antar pelukis terbilang
banyak.
Kosongkan hati dan pengetahuanmu.
Pergilah ke tiap sudut dunia tanpa keangkuhan. Resapi segalanya dan serap
pengetahuan di sekitarmu. Gelas penuh takkan pernah bisa menerima air tambahan.
(ujarku dalam hati). Ini pula yang dinasehati Rama sebelum saya
berkunjung ke sana. Ga guna ilmu-ilmu kalian, yang kalian pelajari di kampus ga
guna di sana, jadi sebisa mungkin ikuti apa mereka. Maksudnya kata mereka
adalah pengetahuan mereka. Berbagi bukan saling menggurui. Setidaknya itu yang
kutafsirkan dari kalimatnya. Bahkan Rama sempat bercerita, jika pemuda di sana
memiliki pengetahuannya sendiri tentang dunianya.
Pemuda Sidodadi menganggap sekolah
bukan hal penting. Jawaban yang sama seperti saat saya berkunjung ke Baduy.
Pemuda di Sidodadi menganggap sekolah tidak berguna, sebab kelak mereka akan
tumbuh besar, dewasa dan mati di tempat ini sebagai anak pantai. Di pantai
mereka memupuk pengetahuan. Di tempat ini jasad mereka juga dikubur. Sebagian
besar dari mereka mungkin lebih memiliki insting tajam memahami lautan. Mungkin
ini yang disebut intelektual organik. Secara relasi ekonomi, memang mereka jauh
terhindar dari relasi ekonomi industri yang ada di kota. Meskipun mereka masih
terikat Negara, khususnya perhutani.
Kapan seseorang dikatakan sebagai terpelajar?
Kapan seorang terpelajar dapat dikatakan sebagai pakar? Jawabannya ribuan teks
telah mencatatnya di tiap sela perpustakaan. Sayang kehancuran alam justru
hadir lebih dulu dari daerah yang di dalamnya memiliki perpustakaan. Roy
Bhaskar, seorang realisme kritis, belum lama ini saya membaca beberapa catatan
pemikirannya tentnag Epistemologi Pengetahuan. Khususnya tentang
ekonomi-politik. Sejak adanya revolusi industry dan ilmu ekonomi bergeser
menuju mainstream pemikiran kapital. Ihwal yang seharusnya ditetapkan sebagai
bagian dari ontologi, justru dibalikkan menuju epistemologi. Akhirnya yang
terjadi adalah kekacauan pemahaman tentang ekonomi. Lebih naif, itu
menghancurkan pemahaman kita terhadap realitas. Pembaca pasti berat memahami
catatan ini, sebagian pembaca juga mungkin bukan pembaca filsafat.
Singkatnya seperti ini
Di dalam kehidupan, manusia tidak
pernah sedikitpun memahami tentang waktu. Waktu dibentuk oleh banyak komponen
partikel di dunia kuantum. Sedikit saja ada informasi yang tidak kita ketahui,
maka berubahlah pengetahuan kita terhadap waktu. Waktu bersifat relatif. Maka
pengetahuan manusia pun tak pernah ada yang mencapai tahap paripurna. Karena
pengetahuan kita parsial, maka klaim kita terhadap kebenaran, yang sering
membuat manusia berperang itu kebodohan. Kita saling membunuh, bertengkar dan
membenci karena kebodohan kita. Sungguh ini hal konyol.
Begitupula cara saya memandang
Pemuda Sidodadi. Mereka memiliki pengalaman, refleksi, dan pengetahuan sendiri.
Tugas saya sebagai ‘orang asing’ yang kebetulan singgah di sana hanya berusaha
berbagi. Bagaimana pengetahuan yang mereka produksi dan apa yang dapat saya
ambil. Perlahan dengan asumsi itu, saya bisa lebur di dalam kehidupan mereka,
cara mereka memaknai waktu dan cara mereka bekerja. Kendati saya tidak bisa
melepas pengetahuan yang saya miliki.
Rampung sudah modal nilai perjalanan
saya agar dapat hidup bersama mereka meski hanya kurang dari satu hari. Malam
mulai gelap. Hari itu langit benar-benar gelap. Tak ada bintang sama sekali.
Padahal jauh sebelum gps ditemukan, masyarakat pesisir takan pernah lepas dari
bintang. Kehidupan mereka dengan langit seolah seperti sahabat bermain. Saling
melengkapi. Andai malam ini bintang tertutup langit, bagaimana cara mereka
menentukan besok harus melakukan apa. Membosankan dan akhirnya saya memutuskan
untuk tidur.
Islam sudah masuk di sana. Meskipun
ada sebagian masyarakat yang masih beragama hindu. Seperti biasa, saya bangun
antara jam 4 atau jam 5. Saya lihat Faradis sedang membangunkan yang lain untuk
solat subuh. Sayang saya tertidur lagi dan lepas solat subuh hari itu. Entah
alasannya apa, tetapi diguyur hujan berjam-jam membuat tubuh saya kaku
sebagian. Faradis membangunkan kami, karena pagi itu, kami akan berbagi
pengelaman di salah satu Yayasan Pendidikan di Goa China. Belum ada persiapan
sama sekali, sehingga persiapan harus mulai dilakukan sejak hari mulai terang.
Persiapan
Dan, akhirnya, jam 8 tiba. Kami
berangkat menuju Yayasan. Di luar dugaan perencanaan kegiatan yang saya buat, ternyata
Yayasan itu memuat 3 lembaga sekaligus. Paud, TK dan SD. Saya tak sempat
menanyakan ihwal detail mengapa dibuat seperti itu. Jumlah muridnya secara
keseluruhan, kira-kira ada 20 orang. Sebagian berusia dini, sebagian beranjak
remaja dan lainnya sudah remaja. Mereka sedang melakukan senam pagi. Dipimpin
oleh Caca, perempuan kampung situ (akamsi – istilah gaul untuk menyebut
pribumi), yang lengguk tubuhnya persis instructor senam Zumba. Lincah.
Sebagaimana Lembaga Pendidikan anak lain, di tengah senam, ada yang semangat,
ada yang menangis kena sikut temannya, bahkan ada yang hanya termenung seolah
berpikir, “aku punya ide brillian,”
Tapi segalanya berkesan. Kesan hanya
kita yang memilih bukan?. Maksudku, bahagia atau tidaknya kehidupan kita,
kitalah yang menetukan. Ya saya sedang malas bercerita panjang, karena kampus
hari ini njelimet. So, sampai ketemu di cerita lain. Lebih-lebih saya berkunjug
tak punya niatan spesifik untuk menulis, masih banyak kesan, Cuma mager, jadi
niatku Cuma baksos.
Komentar
Posting Komentar