Dietzgen
memulainya dengan pertanyaan ,” apa yang terjadi ketika kita berpikir?”. Ia
melacak dasar proses kita berpikir sama esensialnya seperti menjawab pertanyaan
besar sains atau, kesadaran umum manusia (common person). Konsepsi sederhana
atau ide apapun tentang hal ini adalah serupa dengan sifat umum hukum alam,
sebagai puncak pemahaman… berpikir adalah bekerja.
Dengan cara
menampilkan sifat umum dari berpikir, Dietzgen melakukan demokritasasi atas
sains dan filsafat. Keyakinannya adalah, setiap orang harus memiliki nilai, dan
pikiran (ide) itu tidak boleh hanya diperuntukkan kepada elit intelektual.
Karena ini berbeda dengan para akademisi dan para spesialis revolusi Marxian,
“Pengetahuan dan studi tentang ini – Dialektika semesta – tidak dapat
diserahkan hanya untuk guild – vanguard, intelektual, dan segala macam
bentuk pengkotakkan lainnya, - karena pemikiran umum. (common thinking)
akan selalu menjadi masalah publik yang harus diperhatikan oleh setiap diri
kita sendiri.
Tetapi.. apa
yang sebenarnya terjadi saat kita berpikir? Apa proses
bawaan yang mendasari pemikiran; apa yang mendasari kita berpikir tentang
membajak ladang, merenungkan semesta atau sekadar berkhayal? Pemikiran
membutuhkan pembentukan konsep tentang dunia, sebuah proses yang melibatkan dua
aspek yang berbeda:
Melalui pikiran kita menjadi sadar akan segala sesuatu dalam dua
cara, di luar realitas dan di dalam pikiran. . . Otak kita tidak mengasimilasi
hal-hal itu sendiri, tetapi hanya gambar-gambarnya. Pohon yang dibayangkan
hanyalah pohon umum. Pohon asli berbeda dari yang lain. Dan meskipun saya
mungkin memiliki gambaran tentang pohon khusus di kepala saya, namun pohon yang
sebenarnya masih berbeda dari konsepsinya karena yang spesifik berbeda dari
yang umum. [3]
Seseorang tidak
boleh keliru atas gambaran tentang dunia yang ada dalam mentalnya – maksudnya
pikiran - tentang dunia dengan realitas
itu sendiri. Yang nyata, hadir tidak persis seperti generalisasi yang terbentuk
dalam pikiran. “ Pikiran abstrak apapun, baik makhluk, keberadaan, generalitas
yang ada di sana, tidak bersifat jamak – beragam bentuk, atau berlipat ganda - dalam manifestasi indra seseorang, dan secara
individual gambaran ini berbeda dari semua hal lainnya? Seperti air tidak mengenal
dua tetes air yang sama.” [4]
Pemikiran
adalah suatu proses pembentukan generalisasi dari peristiwa-peristiwa tertentu
atau hal-hal tertentu. Pemikiran melibatkan hal-hal spesifik dan individual di
dunia dan generalisasi kita tentangnya. Pemikiran melibatkan generalisasi.
Ciri umum dari
semua pemikiran yang cacah terdiri dari proses mencari karakter “keumuman”,
atau kesatuan umum untuk semua objek, yang dialami dalam keanekaragaman objek
yang beraneka ragam. [5]
Tapi
generalisasi bukanlah semua yang kita lakukan saat kita berpikir, juga bukan
tanpa masalah yang melekat. Jika kita mengambil generalisasi kita secara
ekstrim, kita dapat dengan mudah tersesat dalam apa yang pada dasarnya
merupakan konstruksi mental kita sendiri. Kita menjebak diri sendiri dengan
menganggap produksi pikiran kita adalah kenyataan. Inilah yang terjadi pada
orang-orang yang terjebak dalam sekte agama atau politik yang ekstrem. Untuk
membawa diri kita kembali ke kenyataan, penting untuk tidak pernah melupakan
aspek individu dan spesifik dari berbagai hal.
Generalisasi belaka adalah satu sisi dan pada mimpi fantastis.
Dengan metode ini seseorang dapat mengubah apapun menjadi segalanya. Penting
untuk melengkapi generalisasi dengan spesialisasi. . . yang general harus
dipahami dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk spesifiknya, dan bentuk-bentuk
ini dalam interkoneksi universalnya. [6]
Kontradiksi Inheren Dalam Pikiran
Pemikiran
adalah suatu proses yang melibatkan hubungan antara dua aspek yang berlawanan:
aspek generalisasi dan aspek spesialisasi. Berpikir berarti selalu terlibat
dalam proses yang kontradiktif.
Karena
kesadaran menggeneralisasi perbedaan dan membedakan generalisasi. Kontradiksi
adalah bawaan dalam kesadaran dan sifatnya sangat bertentangan sehingga pada
saat yang sama – cara kerja pikiran - merupakan sifat yang memilah perbedaan, memilih
yang general dan memahamimya. Dengan demikian kesadaran adalah mengakui bahwa
semua alam, semua makhluk, hidup dalam kontradiksi, bahwa segala sesuatu “menjadi
apa” hanya jika bekerja sama dengan kebalikannya. [7]
Sama halnya
dengan generalisasi, inilah jebakan yang harus kita hindari. Seseorang bisa
begitu terjebak dalam kontradiksi yang kita hadapi sehingga menjadi tidak
mungkin untuk mengambil keputusan. Namun, adalah mungkin untuk mencapai semacam
keseimbangan atau sintesis antara pandangan yang berlawanan dan kontradiksi,
setidaknya sebagian, dapat diatasi.
Nalar
mengembangkan pemahamannya atas kontradiksi. Ini adalah sifat pikiran untuk
melihat. . . sifat benda berdasarkan kemiripannya, dan kemiripannya berdasarkan
sifatnya. . . atau dengan kata lain membandingkan kontras dunia satu sama lain,
menyelaraskannya.
Batas dari
pengetahuan kita
Dengan
demikian, menjadi jelas, bahwa proses generalisasi atau pembentukan konsep
hanya akan membatasi pemahaman kita terhadap dunia. Seperti sepuluh orang yang
menyaksikan kecelakaan lalu lintas, mungkin masing-masing dari mereka memiliki
sepuluh versi cerita berbeda tentang apa yang terjadi adalah benar-benar dimengerti.
Sesungguhnya, apa yang kita lakukan adalah membentuk konsep tentang dunia
melalui proses berpikir, menghasilkan sudut pandang yang paling mungkin
mendekati realitas, tetapi tentu hasil itu sendiri bukan benar-benar realitas.
Oleh karena itu, dan ini harus dijadikan prasasti, diukur dengan dua huruf
setinggi dua kaki, kita, tidak memiliki pengertahuan atau kebenaran yang
sempurna.
Hal Yang Paling
Penting Dari Kesalahan
Bagi Dietzgen,
tidak ada batasan pemisah jelas antara benar dan salah. Setiap kebenaran
mengandung beberapa jumlah kesalahan, dan setiap kesalahan mengandung beberapa
jumlah kebenaran. “Kebenaran dan kesalahan hanya berbeda dalam hal komparasi
derajatnya. Seperti semua hal yang beroposisi dalam dunia ini… segalanya, semua
persepsi indrawi, seberapa benar subjektifitas itu, adalah penggalan dari
kebenaran tertentu”.
Kesimpulan
singkatnya adalah, “Asumsi yang tidak beralasan – argumen tak berdasar – adalah
sifat dari kesalahan,”. Maka dogmatisme itu harus dihindari.
Pikiran harus
memiliki objek.
Dietzgen
membuat pengamatan bahwa pikiran harus memiliki objek, yaitu, seseorang harus
memikirkan sesuatu, bahkan jika ini hanya terdiri dari pemikiran tentang
pikiran itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada pikiran tanpa tubuh—pikiran
tanpa objek. Objek pemikiran ini diambil dari dunia luar (dan juga dari jiwa,
suatu hal yang tidak diketahui oleh Dietzgen pra-Freudian). Oleh karena itu,
dunia pada akhirnya mendahului pemikiran manusia. Dengan cara ini, Filsuf
Proletar menyatakan dirinya sebagai seorang materialis, tetapi dia tidak puas
dengan arti istilah yang biasa.
Kami . . .
tidak boleh puas hanya dengan mengikuti contoh materialis lama yang mereduksi
segalanya menjadi atom yang berat – terukur . Materi kosmik tidak hanya memiliki
gravitasi, tetapi juga aroma, cahaya, dan suara—dan mengapa tidak juga
kecerdasan? Konsepsi materi harus diberi makna yang lebih komprehensif. Dengan
demikian, seharusnya, konsep materi adalah milik semua fenomena realitas. [17]
Idealisme vs
Materialisme
Dietzgen
mengaitkan perselisihan antara idealisme dan materialisme dengan pemutlakan
perbedaan antara kedua konsep tersebut.
Kaum idealis
menganggap akal saja sebagai sumber segala pemahaman, sedangkan kaum materialis
memandang dunia persepsi inderawi dengan cara yang sama. Tidak ada yang
diperlukan untuk solusi dari kontradiksi ini selain pemahaman tentang saling
ketergantungan relatif dari kedua sumber pemahaman ini. . . Tetapi
perbedaan-perbedaan ini termasuk dalam satu genus umum yang merupakan perbedaan
antara yang khusus dan yang umum. [18]
Baik kaum
idealis maupun materialis, Bagi Dietzgen memiliki konsepsi dunia yang tidak
nyata.
Idealis
melebih-lebihkan gagasan, sementara kaum materialis menagungkan materi, bagi
Dietzgen keduanya adalah pemimpi . . . keduanya membedakan pikiran dan materi
dengan cara yang fantastis dan tidak nyata. Tak satu pun dari mereka mengangkat
diri ke kesadaran persatuan dan monisme. . . Alam yang bukan material atau
mental, tetapi satu sama lain – kesatuan yang saling melengkapi. [19]
Kaum materialis
lama berurusan dengan pertentangan yang tidak dapat didamaikan seperti halnya
kaum idealis. [20]
Dunia
mengandung mental dan material dan keduanya adalah nyata; semua yang nyata
adalah yang membentuk dunia material. Segala sesuatu yang berpengaruh pada
dunia yaitu materi juga nyata.
Kita harus
membedakan antara objek persepsi indra dari citra mentalnya. Namun demikian,
ide yang tidak berwujud juga material dan nyata. Saya merasakan ide saya
tentang meja sama jelasnya dengan meja itu sendiri. Benar, jika saya memilih
untuk menyebut hal-hal yang berwujud saja sebagai materi, maka gagasan bukanlah
materi. . . Pikiran adalah nyata seperti wujud dari meja. . . Meskipun gagasan
tentang hal-hal ini (idea) berbeda dari hal-hal itu sendiri (materi), namun
memiliki kesamaan dengan mereka bahwa hal itu nyata sebagaimana adanya. [21]
Pemisahan
antara ide-ide kita dan “realitas material yang nyata” tidaklah mutlak.
Pertimbangkan efek imajinasi. Ciptaan imajiner kita sama-sama tidak nyata (tidak
ada) namun memiliki beberapa realitas karena pada akhirnya didasarkan pada
dunia yang ada secara objektif. Fantasi ini juga dapat berdampak besar pada
kita, pikirkan saja ide gila Hitler atau Stalin. Menurut Dietzgen, "hanya
ada perbedaan derajat yang moderat antara hal-hal yang murni imajiner dan apa
yang disebut hal-hal nyata." [22]
Dietzgen juga
menghargai imajinasi. Fantasi tentu saja memiliki kekuatan positif, dan intuisi
spekulatif "sangat sering mendahului pemahaman empiris dan induktif".
[23]
Kritik Dietzgen
atas Materialisme Para Borjuis
Dietzgen
menyerang materialisme sebagai semacam idealisme.
Karena
ironisnya kaum materialis berbicara tentang materi tak berwujud (belum terlihat
bentuknya) dan materi yang berwujud (sudah terlihat bentuknya), dalam nafas
yang sama dengan bentuk-bentuk yang dapat musnah dari materi yang tidak dapat
musnah, menjadi jelas bahwa suesungguhnya
materialisme tidak lebih tahu daripada idealisme mengenai hubungan isi dengan
bentuk, tentang suatu fenomena dengan alam. sifat esensial dari subjeknya. Di
manakah kita menemukan materi yang abadi, tidak dapat binasa, dan tidak
berbentuk? [24]
Dietzgen tidak
memiliki kesabaran untuk argumen yang mereduksi ide sebagai non-materi menjadi
sekadar turunan dari “materi”.
Bagi kaum
materialis lama, materi adalah subjek yang ditinggikan, semua hal lain tunduk
pada praduga. . . sebuah pemikiran kuno dan sempit yang tidak memperhatikan
karya ahli dialektika Jerman. Harus dipahami bahwa subjek hanya terdiri dari
predikat. [25]
Ada perbedaan
antara materialisme lama dan materialisme baru yang menjadi dasar filosofis
Sosial Demokrasi.
Kami melihat
tanda yang membedakan antara materialis mekanik. . . dan materialis Sosial
Demokrat. . . dalam hal yang terakhir telah memperluas konsepsi materi yang
sempit sebagai yang secara eksklusif terdiri dari Yang Berwujud untuk semua
fenomena yang terjadi di dunia. [26]
Adalah salah
untuk memisahkan pikiran dan materi secara ekstrim. Satu-satunya cara untuk
memahami realitas adalah dengan melihat mental dan fisik dalam kesatuannya.
"Materi" adalah konstruksi mental, tetapi "pikiran" tidak
dapat ada tanpa dunia material dari objek dan kekuatan.
Pikiran adalah
materi dan hal-hal adalah mental. Pikiran dan materi hanya nyata dalam
keterkaitannya. [27]
Kata
"materi" tidak sakral bagi Dietzgen dan dia tidak takut untuk
meninggalkannya demi istilah yang lebih inklusif dan dengan demikian
menghilangkan dualisme idealisme vs. materialisme.
Padat dan cair,
kayu dan logam diringkas dengan tepat di bawah gagasan 'materi'. Mengapa kita
tidak dibenarkan untuk menyimpulkan semua hal di bawah istilah 'kebenaran
empiris' atau fenomena empiris? . . . Melalui asal usul yang sama, semua
antagonisme direkonsiliasi dan dijembatani. Keanekaragaman hanyalah sebuah
bentuk: pada hakikatnya semua hal adalah sama. . . kita menemukan apa yang
semakin dibuktikan oleh ilmu alam, bahwa perbedaan yang tampaknya esensial
hanyalah perbedaan derajat. . . Efek sebab dan efek penyebab. [28]
Dan mereka yang
tidak menyukai generalisasi kata "materi" ini mungkin sebaliknya,
berbicara tentang "fenomena" . . . nama spesies umum, yang menjadi
milik segala sesuatu, yang dapat direnungkan dan yang tidak dapat direnungkan,
tubuh dan jiwa. [29]
Meskipun
demikian, ia bersedia menerima nama “materialis”, tetapi dengan syarat:
Tetapi sekarang
kami kaum Sosial Demokrat menerima nama [kaum materialis] yang dianggap oleh
lawan kami untuk melecehkan kami, karena kami tahu bahwa 'batu yang ditolak
oleh pembangun menjadi batu penjuru'. Kami sama-sama dibenarkan untuk menyebut
diri kami idealis, karena sistem kami didasarkan pada hasil akhir filsafat,
pada penyelidikan ilmiah atas gagasan. [30]
Dalam menolak
materialisme yang mereduksi semua fenomena menjadi “materi”, Dietzgen juga
menolak teori pengetahuan yang dikenal sebagai “teori refleksi”. Konsep ini,
yang dikembangkan oleh Lenin dalam Materialism and Empireocriticism, melihat
konsep dan ide hanya sebagai salinan atau refleksi dari “dunia material”,
seperti kamera yang mereproduksi gambar.
Tidak ada yang
lebih hambar yang dikatakan tentang kebenaran dan pengetahuan selain . . .
kebenaran itu adalah kesesuaian pengetahuan kita dengan objeknya. Bagaimana
gambar bisa "sesuai" dengan modelnya? Sangat mungkin bisa. . . Tetapi
untuk menjadi sama sekali, persis sama dengan aslinya, sungguh ide yang tidak
normal! Dengan demikian kita hanya dapat mengetahui Alam dan bagian-bagiannya
secara relatif, karena bahkan suatu bagian, meskipun hanya hubungan Alam,
memiliki kembali sifat-sifat Absolut, sifat dari SEMUA EKSISTENSI yang tidak
dapat dilenyapkan oleh pengetahuan.
Esensi dari
Kesatuan Dunia
Dietzgen
menyebut filosofinya monist, yang mengacu pada pandangan bahwa semua eksistensi
pada akhirnya bersatu.
Kesadaran itu
sendiri adalah kesadaran akan yang tak terbatas. Keyakinan kita yang mantap
tentang kesatuan alam semesta adalah logika bawaan. Kesatuan dunia adalah
kategori tertinggi dan paling universal. Melihat lebih dekat. . . mengungkapkan
fakta bahwa ia membawa kebalikannya, multiplisitas Tak Terbatas. [32]
Kesatuan
eksistensi adalah bawaan dalam pikiran manusia. “Dengan tangan kita, kita hanya
menangkap yang nyata, dengan mata kita hanya yang terlihat, tetapi dengan
pemahaman kita, kita memahami seluruh Alam, Alam Semesta.” [33]
Pemisahan
absolut dari setiap aspek keberadaan dari yang lain, meskipun bukan kebenaran
hakiki tentang realitas, juga merupakan ciptaan pikiran.
Kesadaran menandakan
pengetahuan tentang keberadaan. Itu berarti memiliki setidaknya firasat samar
tentang fakta keberadaan adalah ide universal. Proses kemenjadian adalah
segalanya; itu adalah inti dari segalanya. . . intelek manusia tidak mengetahui
pemisahan mutlak dari dua hal, meskipun ia bebas untuk memisahkan alam semesta
menjadi bagian-bagiannya untuk tujuan pemahaman. [34]
Keberadaan
adalah satu-satunya yang mutlak.
Kebenaran
mutlak, kebenaran unviersal hanyalah sifat keberadaan umum dari Semesta yang
memliki kuantitas absolut. Tetapi dunia nyata benar-benar relatif, benar-benar
dapat musnah, manifestasi yang tak terbatas. . . Semua kebenaran hanyalah
bagian dari dunia ini, kebenaran parsial. . . Tanda umum kebenaran adalah
keberadaan. [35]
Realitas tidak dapat direduksi menjadi ide atau materi, (keduanya merupakan konstruksi manusia) tetapi satu "hal" yang dapat diselesaikan adalah Semesta atau Totalitas. Di sini, Dietzgen percaya, adalah satu-satunya tempat yang kokoh untuk melabuhkan filosofi, karena semua konsep terbatas pada akhirnya terbukti ilusi. Di atas dasar yang kokoh ini, Dietzgen mampu merekonsiliasi masalah klasik filsafat, seperti kehendak bebas vs determinisme, materi dan kekuatan, sebab dan akibat, dan materialisme vs idealisme. Kebalikan ini tidak berlawanan seperti yang dipikirkan orang, atau seperti yang dia nyatakan, “Kami tidak menganggap kekuatan hanya sebagai predikat materi. Konsepsi kita tentang materi dan kekuatan, bisa dikatakan, demokratis. Yang satu memiliki nilai yang sama dengan yang lainnya; semuanya individu tapi properti. . . dari seluruh Alam.” [36]
Kami
mengasumsikan kesatuan dunia yang mendasari tindakan kita sehari-hari,
karenanya apriori Tanner memang merupakan asumsi paling mendasar dari kesadaran
kita. Kita tidak akan dapat berfungsi untuk waktu yang lama tanpa konsep
terkait tentang keberadaan, koherensi, dan kesatuan dunia. Sains didasarkan
pada ide esensial ini dan tidak mungkin tanpanya. Dan jika dunia itu dualistik,
dan ada keberadaan lain yang benar-benar terpisah, kita tidak akan bisa
mengetahuinya. Oleh karena itu pemisahan mutlak tidak ada artinya.
Sebab dan
Akibat
Dietzgen
menangani masalah sebab dan akibat secara agak ekstensif. Sains mencari
sebab-sebab peristiwa dan dianggap sebagai penemuan penting ketika hubungan
sebab akibat ditemukan. (Kami diberi tahu bahwa kuman menyebabkan penyakit.)
Masalah bagi ahli metafisika dan ilmuwan adalah bahwa kami jarang menemukan
penyebab sesuatu dan penemuan kami sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan.
(Jika kuman menyebabkan penyakit, mengapa kita tidak selalu sakit, karena kita
selalu dikelilingi oleh kuman?)
Dengan demikian
hal-hal menjadi sebab timbal balik dan akibat timbal balik. Seluruh dunia
fenomena, di mana pikiran hanyalah sebagian, adalah lingkaran mutlak, di mana
awal dan akhir ada di mana-mana dan tidak di mana pun, di mana segala sesuatu
pada saat yang sama adalah esensi dan kemiripan, sebab dan akibat, umum dan
konkret. . Sama seperti semua Alam pada akhirnya adalah satu kesatuan umum
tunggal. . . jadi Sifat yang sama ini. . . adalah penyebab akhir dari segala
sesuatu. [37]
Nalar, dan
bukan persepsi indra, adalah sarana pamungkas yang melaluinya kita sampai pada
gagasan tentang "sebab".
Penyebab, pada
contoh terakhir, tidak diperhatikan dan dilengkapi dengan cara . . . persepsi
indra. Mereka dipasok oleh kemampuan berpikir. . . bukan produk ‘murni’ dari
kemampuan pikiran, tetapi dihasilkan olehnya sehubungan dengan persepsi indria.
. . Penyebabnya adalah generalisasi mental dari perubahan yang terlihat. . .
Penyebab spekulatif menciptakan efeknya. Namun pada kenyataannya efek adalah
materi yang darinya otak, atau ilmu pengetahuan, membentuk penyebabnya. Konsep
sebab adalah produk akal. . . menikah dengan dunia persepsi indra. [38]
Jadi Dietzgen
sekali lagi memerangi arogansi, jenis yang ditemukan pada teknokrat dan
"rencana ilmiahnya" yang tak berkesudahan, Marxis dogmatis, atau
neo-liberal dan "hukum ekonomi" yang tidak fleksibel. Kita tidak
boleh mengagungkan penemuan, ide, atau konsep kita, karena ini semua adalah
batasan realitas yang telah kita buat. Pengetahuan kita lebih cenderung abu-abu
dan tidak jelas daripada garis hitam dan putih yang tajam. Bukan karena kerja
keras mental kita menghasilkan ketidakbenaran total atau semuanya adalah
fantasi subyektif, tetapi konstruksi kita hanyalah perkiraan dari kenyataan.
Seperti yang dapat dibuktikan oleh jutaan korban arogansi abad ke-20,
pengetahuan kita selalu terbatas, pengetahuan parsial, dan berpikir sebaliknya
berarti jatuh ke dalam kesalahan yang dalam dan berbahaya.
Problem dalam
Bahasa
Dietzgen
menyadari bahwa banyak masalah filsafat muncul dengan penggunaan bahasa yang
tidak memadai. Dengan cara ini, dia menggarisbawahi pekerjaan Wittgenstein dan
para filsuf analitik.
Kelambanan yang
menghalangi kaum idealis sepihak di satu pihak dan kaum materialis sepihak di
pihak lain untuk mencapai pemahaman yang damai dapat ditelusuri ke salah satu
kesalahan lidah itu. Kami tidak memiliki istilah yang tepat untuk menunjukkan
hubungan antara fenomena spiritual. . . dan yang berwujud. . . hal di sisi
lain. [39]
Dia tidak
menganggap kata-kata sebagai realitas, seperti yang dilakukan banyak
intelektual, tetapi menganggapnya sebagai simbol. "Kata-kata adalah nama,
yang tidak, dan tidak bisa, memiliki fungsi lain selain dari ilustrasi
simbolik." [40]
Sains dan
Saintisme
Seperti hampir
semua pemikir abad ke-19, Dietzgen menganggap karya-karyanya ilmiah. Pada saat
ini, (tahun 1870-an) istilah “sains” mulai berubah makna. Sebelumnya, setiap
badan pengetahuan yang terorganisir dianggap sebagai sains dan tidak ada kesan
kepura-puraan atau saintisme dalam berbicara tentang "ilmu memasak"
atau "sosialisme ilmiah". Dengan munculnya Positivisme dan
materialisme, muncullah penggunaan kata yang baru dan lebih terbatas. Istilah
"sains" sekarang direduksi menjadi bidang-bidang penyelidikan yang
menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam. Positivisme terlibat dalam pencarian
hukum alam yang tidak dapat diubah yang dianggap ada secara independen dari
pengamat. Pendekatan lain apa pun dianggap tidak ilmiah atau pseudo-sains dan
dikutuk dalam bahasa yang mirip dengan yang digunakan oleh para pemburu ajaran
sesat abad keenam belas. Sains telah menjadi absolutisme baru dan takhayul
baru. Itu terlalu banyak untuk Tanner untuk perut.
Ada banyak
orang di antara kita yang, alih-alih menganggap sains sebagai pelayan
peradaban, malah mengidolakan dan menyembahnya . . . Mereka seperti orang
barbar yang mengubah hukum alam dan sosial menjadi keilahian. . . Demokrasi
sosial berkewajiban untuk menghancurkan takhayul agama dan ilmiah. [41]
Dia mencela
ilmuwan dan akademisi karena elitisme mereka dan menganggap mereka idealis
(dalam pengertian filosofis) sebagai materialis yang filosofisnya tidak
diragukan lagi berasal dari mereka.
Setelah
mewujudkan segala sesuatu yang spiritual, tidak ada yang tersisa bagi para
profesor selain spiritualisasi profesi mereka sendiri, sains. Mereka menganggap
pengetahuan akademis berbeda jenisnya dengan, katakanlah, pengetahuan petani,
tukang celup, atau pandai besi. Pertanian ilmiah, bagaimanapun, hanya sejauh di
depan pertanian biasa bahwa aturan atau pengetahuannya tentang apa yang disebut
hukum alam adalah generalisasi dari jenis yang lebih komprehensif. Mereka
berbeda satu sama lain dalam derajat dan bukan dalam esensi. . . kami ingin
mengatasi klaim aristokrasi intelek. [42]
Ilmu alam belum
meninggalkan materialisme mekanis lama. “Ilmu modern bahkan sampai hari ini
masih dijiwai oleh bias kaum materialis abad ke-18.” [43]
Ilmu tertinggi
adalah filsafat.
Sains positif
dapat memberi kita pengetahuan tentang banyak aspek dunia, tetapi diserahkan
kepada bentuk pemikiran (atau sains) lain untuk memahami dunia. Ilmu alam di
satu sisi berada di bawah filsafat—ilmu yang menyelidiki pertanyaan-pertanyaan
dasar yang biasanya diterima begitu saja oleh para ilmuwan alam—pertanyaan
seperti, "Apa yang dipikirkan?", "Apa itu kebenaran?" dan
"Mengapa bicara eksistensi ketika tidak ada apa-apa?" – Why Existence,
neither nothing - Ilmu positivis
bahkan menolak untuk membiarkan pertanyaan semacam itu ditanyakan, pendekatan
yang agak tidak ilmiah dan tidak logis untuk sedikitnya.
Ilmu alam dalam
pengertiannya yang lebih sempit tidak dapat memberi kita konsep monistik
tentang dunia. . . [ini] diselidiki oleh ilmu terpisah yang disebut Logika,
atau Epistemologi atau Dialektika. [44]
Individualisme
Dietzgen
Berakar pada
konsep bahwa semua pemikiran pada dasarnya serupa, filosofi Dietzgen sejak awal
bersifat demokratis dan egaliter. Satu orang mungkin tahu lebih banyak dari
yang lain, tetapi perbedaan antara individu hanya bersifat kuantitatif, bukan
kualitatif. Menjadi manusia berarti memiliki kapasitas akal. Sudut pandang
seperti itu sangat menjunjung tinggi individu, karena pendapat setiap orang,
dan karenanya setiap orang, dipandang memiliki nilai intrinsik.
Konsep esensial
individualitas juga ada dalam filosofinya, ditunjukkan oleh keyakinannya bahwa
setiap tetes air berbeda satu sama lain. Dan jika tetesan air adalah individu,
pertimbangkan individualitas makhluk kompleks itu, Homo sapiens, atau seperti
yang dia nyatakan, "kemanusiaan adalah sebuah ide, sedangkan manusia
selalu merupakan pribadi yang istimewa." [45]
Konsep Sejarah
Dalam Pemikiran Dietzgen
Konsep Dietzgen
tentang sejarah terkait dengan evaluasinya terhadap individu. “Hanya kesadaran
akan kebebasan individu yang menciptakan ketidakpedulian yang cukup terhadap
aturan yang dibuat oleh orang lain untuk memungkinkan kemajuan yang berani,
yang membebaskan kita dari perjuangan untuk cita-cita absolut yang ilusif,
untuk beberapa “dunia terbaik”. [46]
Ketidakpeduliannya
terhadap peraturan yang dibuat oleh orang lain memungkinkannya memutuskan
hubungan dengan SLP dan membantu kaum anarkis yang terkepung. Pada saat
pandangan sejarah yang sangat determinis hampir menghilangkan faktor kehendak
manusia, Tanner mencatat bahwa "kemanusiaan merevolusi standar
tertingginya, singkatnya, ia membuat sejarah." [47] Pandangan holistiknya
tentang manusia, sejarah, dan alam melindunginya dari jatuh ke dalam perangkap
utopis dan kebalikannya, jenis keputusasaan yang sering kita lihat hari ini.
Dia juga tidak memiliki keyakinan buta akan kemajuan seperti banyak orang
sezamannya.
Progres dalam
sejarah adalah mengangkat anak dan memandikannya dalam bak mandi. . . Kekayaan
peradaban saat ini hanya disebabkan oleh administrasi ekonomi dari perolehan
masa lalu. Evolusi sama konservatifnya sama dengan revolusi itu sendiri, dan proses
itu menemukan banyak kesalahan dan kebenaran dalam setiap hukum. [48]
Dietzgen,
seperti kebanyakan kaum Marxis, berpendapat bahwa masyarakat kelas adalah tahap
yang diperlukan dalam sejarah manusia.
Saya bahkan
cenderung untuk mengakui bahwa tugas mengembangkan tenaga kerja kita ke tingkat
kesuburan yang luar biasa yang kita lihat sekarang, memerlukan kelas penguasa
yang istimewa serta eksploitasi massa. Saya siap untuk menerima dengan sabar
kesengsaraan masa lalu, dan tidak menanggungnya dendam atau kedengkian. [49]
Evolusi sosial
bukanlah nihilistik, tidak ada catatan bersih yang menghapus masa lalu dan
sebanyak yang dipertahankan sebanyak yang ditolak. Baik radikal maupun
konservatif diperlukan. Juga tidak perlu meminta seseorang untuk disalahkan
atas penyakit dunia, sejarah hanya ADALAH dan kita semua adalah bagian darinya.
Pada saat yang
sama kita berdamai dengan dunia sebagaimana adanya, karena kita tidak lagi
menganggapnya sebagai realisasi yang tidak berhasil dari apa yang tidak bisa
tidak terjadi. Dunia selalu benar. Apapun yang ada, adalah benar dan tidak
ditakdirkan untuk menjadi sebaliknya sampai berubah. Di mana pun ada
keberadaan, yang merupakan kekuatan, di situ juga ada hak tanpa syarat lebih
lanjut, karena itu benar dalam tahap formatif. Kelemahan tidak memiliki hak
lain selain berjuang untuk supremasi. . . memaksa pengakuan akan kebutuhannya
yang telah lama ditolak. [50]
Tidak seperti
beberapa anarkis yang berpikir mungkin untuk sepenuhnya menghapuskan kekuasaan,
Dietzgen mengakui bahwa keberadaan adalah kekuatan. Yang “lemah” yang dia
maksud tidak diragukan lagi adalah kelas pekerja, yang dalam perjuangan mereka
untuk pengakuan kebutuhan mereka, mengatasi kelemahan mereka. Bahwa "dunia
selalu benar" tampak mengerikan di era yang telah melihat orang-orang
seperti Pol Pot dan Hitler. Namun, pernyataan ulang Hegel yang sering dikutip
dan selalu disalahpahami "Real is Rational" ini bukanlah penghapusan
kejahatan sejarah. Ini hanya menyatakan bahwa sejarah adalah proses di mana
peristiwa memiliki sebab—dalam pengertian terbatas tentang sebab dan akibat
yang digunakan Dietzgen. Hitler, misalnya, tidak jatuh dari langit, dan rakyat
Jerman juga tidak dilanda kegilaan sementara; kebangkitannya ke tampuk
kekuasaan disebabkan oleh rasisme dan otoritarianisme masyarakat Eropa,
Perjanjian Versailles yang menghukum, penghancuran kelas menengah, ketakutan
mereka akan revolusi sosial, dll.
Dietzgen dan
Spiritualitas
Kita telah melihat
dalam filosofi Dietzgen bahwa pengetahuan manusia terbatas dan satu-satunya
Absolut yang ada adalah Totalitas Keberadaan atau Alam Semesta. (Dengan Alam
Semesta, dia tidak bermaksud apa yang para astronom maksudkan dengan itu,
melainkan yang dia maksudkan Keberadaan — semua yang pernah terjadi, semua yang
terjadi sekarang, semua yang akan terjadi). Dia mengamati bahwa jika
antropomorfisme, takhayul, dan sulapan dilucuti dari agama, yang tersisa adalah
Yang Mutlak. Tuhan adalah kata lain untuk Yang Mutlak atau Totalitas
Keberadaan,
Wujud yang
serba sempurna, dengan konsepsi tentang Tuhan, dengan Substansi Spinoza, dengan
"benda dalam dirinya sendiri" dari Kant, dan dengan Absolut Hegel,
memiliki alasan yang baik dalam fakta bahwa konsepsi yang bijaksana tentang
Semesta sebagai Semua-Satu dengan tidak ada yang di atas atau di luar atau di
sampingnya, adalah dalil pertama dari cara berpikir yang terampil dan
konsisten. [51]
Agama memiliki
aspek positif dan negatif. “Sejarah menunjukkan kepada kita tidak hanya sisi
negatif dan konyol dari agama, adat istiadat, institusi, dan gagasan masa lalu,
tetapi juga sisi positif, masuk akal, dan perlu mereka. . . ketika agama adalah
urusan yang lebih serius, itu juga tidak terlalu mendua.” [52]
Iblis hanyalah
sebuah alat, kehidupan duniawi hanyalah masa transisi masa pencobaan untuk
kehidupan kekal. Ada pusat gravitasi dan sistem. Dibandingkan dengan setengah
hati modern. . . agama memang mencakup keseluruhan dengan cara monistik. [53]
Sementara
kekejaman, takhayul dan kontrol dari kelas bawah merupakan elemen utama dari
agama, hal itu tidak dapat dihapuskan begitu saja. Seperti yang lainnya, agama
memiliki inti rasional. Dia tidak malu disebut ateis, tetapi agama tidak
membuatnya takut.
Jika dia adalah
seorang ateis yang menyangkal bahwa kesempurnaan dapat ditemukan dalam diri
seseorang, maka saya adalah seorang ateis. Dan jika dia adalah seorang yang
beriman kepada Tuhan yang memiliki keyakinan pada "makhluk yang paling
sempurna" yang tidak hanya ditempati oleh para teolog, tetapi juga
Cartesius dan Spinoza, maka saya adalah salah satu dari anak-anak Tuhan yang
sejati. [54]
Menurut
Dietzgen, masalah dengan agama adalah bahwa ia mempersonifikasikan Tuhan
sebagai simbol seperti Bapa atau Raja Ilahi, dan simbol itu dianggap sebagai
realitas. Jadi, kita memiliki pandangan kekanak-kanakan tentang Tuhan sebagai
orang tua di atas awan yang menuliskan dosa-dosa kita dalam sebuah buku besar.
Yang Mutlak jauh melampaui apa pun yang begitu terikat bumi dan antropomorfik
sebagai personifikasi, atau seperti yang dikatakan Dietzgen, "yang tak
terbatas, abadi, bukanlah pribadi, tetapi objektif." [55]
Agama ortodoks
telah menjadi terlalu transendental dan telah melupakan imanensi—Yang Mutlak
telah disingkirkan dari dunia dan ini salah.
Politik Ala
Dietzgen
Saat tinggal di
Jerman, Dietzgen adalah anggota dari Partai Sosial Demokrat. Ini tidak berarti
dia adalah seorang Sosialis Negara. Apa yang dia usulkan adalah sebuah sistem
produksi kooperatif dan bukan kepemilikan Negara: “penyelamat kemanusiaan hanya
dapat ditemukan dalam kerja kooperatif dan persaudaraan.” [58]
Masyarakat
koperasi adalah masyarakat tanpa pembagian kelas. “Hanya dari penghapusan
aturan kelas, dari transformasi organisasi kapitalistik yang mementingkan diri
sendiri menjadi alat-alat produksi kooperatif yang akan menghasilkan
persaudaraan manusia yang sejati.” [59]
Bagaimana
persemakmuran koperasi terjadi? Tentu saja tidak melalui manipulasi sekelompok
akademisi yang sok tahu atau Bos Baru. Itu perlu membebaskan kelas pekerja
melalui pekerja itu sendiri. . . distribusi barang-barang ekonomi yang lebih
adil dan populer hanya dapat diwujudkan dengan demokrasi [bukan] aturan klik
dengan dalih superioritas intelektual. [60]
Perubahan
sosial tidak akan terjadi melalui pekerjaan misionaris, atau skema utopis.
Keselamatan datang bukan dari pencerahan agama, politik dan sosial, tetapi
tumbuh secara organik dari perkembangan ekonomi sosial. (Dietzgen, seperti
semua kaum Marxis pada zamannya, terlalu optimis tentang kematian kapitalisme.)
Kami tidak
mencari keselamatan dalam skema subyektif, tetapi kami melihatnya tumbuh
sebagai semacam produk organik dari jalur perkembangan aktual yang tak
terelakkan. Yang kami lakukan hanyalah memfasilitasi kelahirannya. . . . yang
membebaskan kita dari perjuangan untuk cita-cita absolut yang ilusif, untuk
beberapa "dunia terbaik" [61]
Dan juga:
Kami juga
menuntut pemulihan hak asasi kami. . . ini . . . bukanlah spekulasi kosong,
tetapi merupakan hasil alami dari kebutuhan material saat ini. . . [ekonomi
koperasi] . . . cukup sesuai dengan sifat sistem saat ini: ia harus datang:
bahan-bahannya diproduksi dan digandakan setiap hari. Kapitalis adalah ulat
sutera yang sesungguhnya. . . Pertanyaan prematur tentang masa depan, Kapan,
Dimana, dan Bagaimana tidak perlu mengganggu kita, itu memang spekulasi
'filosofis' yang sia-sia. [62]
Dietzgen
meramalkan gagasan IWW tentang “Baru dalam cangkang yang lama”: “Masyarakat
yang kita perjuangkan berbeda dari saat ini tetapi dengan modifikasi.
Masyarakat masa depan terkandung dalam masyarakat saat ini seperti burung muda
di dalam telur.” [63]
Positivisme
dengan apa yang disebut Hukum Abadi ditolak dalam politik dan juga filsafat.
Aktivis juga tidak boleh melakukan lebih dari mendidik dalam arti luas. Mereka
bukan komandan militer:Demokrasi Sosial tidak berusaha untuk mendirikan hukum
abadi, institusi permanen atau bentuk yang tidak dapat diubah; itu mencari
keselamatan umat manusia. Sarana yang sangat diperlukan. . . adalah pencerahan
mental. [64]
Filosofi
Dietzgen, yang dibangun di atas toleransi, hanya dapat menuntut praktik politik
yang toleran dan memungkinkan munculnya berbagai pendapat: “Dalam praktiknya
kita harus toleran secara ekstrim dan tentunya tidak ada Sosial Demokrat yang
akan pernah berpikir untuk memasukkan anggota Partai mana pun ke dalamnya.
jaket seragam yang lurus. [65]
Yang relatif
dan yang absolut tidak terletak begitu jauh seperti yang dilukiskan kepada
manusia oleh rasa Keabadian yang tidak tergarap yang disebut Agama . . . Yang
Mutlak dan Yang Relatif tidak terpisah secara transendental, mereka terhubung
satu sama lain sehingga Yang Tak Terbatas terdiri dari jumlah terbatas yang
terbatas dan setiap fenomena yang terbatas memiliki sifat Yang Tak Terbatas.”
[56]
Satu kutipan
terakhir menunjukkan sikap yang mengingatkan kita pada Khotbah Di Bukit:
“Jangan pernah kasar dalam menilai orang lain . . . Untuk bertindak dengan
sopan, Anda harus berpikir dengan sopan. Kebajikan dan kesalahan digabungkan.
Bahkan bajingan adalah orang baik dan orang benar berbuat dosa tujuh kali
sehari.
Tentang Ekonomi
Ada sedikit
bahasa Inggris tentang gagasan ekonomi Dietzgen. Apa yang memang ada itu
menarik karena menandakan perkembangan selanjutnya. Tidak seperti banyak
sosialis pada zamannya, dia melihat bahwa tenaga kerja bergaji tinggi
diperlukan untuk pembangunan ekonomi, baik kapitalis maupun sosial demokrat.
Kebutuhan utama
untuk kemajuan peradaban adalah kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam
konsumsi. . . kekayaan, yang dulu menjadi pendorong kemajuan, kini berubah
menjadi faktor stagnasi sejarah. . . secara keseluruhan harus diakui bahwa
pertumbuhan produksi dikendalikan oleh masalah konsumsi. [66]
Tetapi si
kapitalis terlalu mementingkan keuntungan langsung untuk menaikkan upah.
Bisnis macet,
dan tidak ada permintaan barang. Satu-satunya jalan keluar dari bencana ini
adalah partisipasi massa dalam konsumsi; upah harus dinaikkan dan waktu kerja
dikurangi. Tapi kapitalis yang cukup makan . . . terlalu berpikiran sempit
untuk membayar produsen kekayaannya, pekerja, dengan baik . . . Tidak hanya
sosial demokrasi, tetapi ekonomi nasional menuntut konsumsi yang lebih besar,
pasar yang lebih luas untuk produk-produknya.
[1] Joseph
Dietzgen, Th e Nature of Human Brain Work (Oakland: PM Press, 2010), 18.
[2] Ibid.,
6.
[3] Ibid.,
20.
[4] Ibid.,
44.
[5] Ibid.,
27.
[6] Joseph
Dietzgen, The Positive Outcome of Philosophy, trans. Ernest Untermann (Chicago:
Charles H. Kerr, 1906), 357.
[7] Ibid.,
33.
[8] Ibid.,
88.
[9] Ibid.,
350.
[10] Ibid.,
430.
[11] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 47.
[12] Joseph
Dietzgen, Th e Positive Outcome of Philosophy, (Chicago: Kerr, 1906), 265.
[13] Dietzgen,
Th e Nature of Human Brain Work, 43.
[14] Ibid.,
47.
[15] Ibid.,
48.
[16] Ibid.,
83
[17] Joseph
Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, trans. M. Beer and Th . Rothstein
(Chicago: Charles H. Kerr, 1906), 221.
[18] op
cit., 69.
[19] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 294.
[20] Ibid.,
298.
[21] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 19.
[22] Dietzgen,
The Positive Outcome of Philosophy, 367.
[23] Ibid.,
9.
[24] Dietzgen,
Th e Nature of Human Brain Work, 34.
[25] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 295.
[26] Ibid.,
298.
[27] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 21.
[28] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 5.
[29] Ibid.,
218.
[30] Ibid.
[31] Ibid.,
140.
[32] Dietzgen,
The Positive Outcome of Philosophy, 410.
[33] Ibid.,
45.
[34] Ibid.,
361.
[35] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 42.
[36] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 301.
[37] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 58.
[38] Dietzgen,
The Positive Outcome of Philosophy, 438.
[39] Ibid.,
361.
[40] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 103.
[41] Ibid.,
103.
[42] Ibid.,
128.
[43] Ibid.,
299.
[44] Ibid.,
220.
[45] Dietzgen,
Th e Nature of Human Brain Work, 107.
[46] Ibid.,
96.
[47] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 113.
[48] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 95.
[49] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 97.
[50] Ibid.,
109.
[51] Ibid.,
274.
[52] Dietzgen,
The Nature of Human Brain Work, 96.
[53] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 148.
[54] Dietzgen,
The Positive Outcome of Philosophy, 244.
[55] Ibid.,
437.
[56] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 288–289.
[57] Industrial
Worker, April 17, 1937.
[58] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays,108.
[59] Ibid.,
160.
[60] Ibid.,
127–131.
[61] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 179.
[62] Ibid.,
191–2.
[63] From
the Volkstaadt, as quoted in Industrial Worker, April 17, 1937.
[64] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 225.
[65] Ibid.
[66] Dietzgen,
Some of the Philosophical Essays, 98–99.
[67] Ibid.,
178.

Komentar
Posting Komentar