Dialektika Semesta; Joseph Dietzgein

 



Dietzgen memulainya dengan pertanyaan ,” apa yang terjadi ketika kita berpikir?”. Ia melacak dasar proses kita berpikir sama esensialnya seperti menjawab pertanyaan besar sains atau, kesadaran umum manusia (common person). Konsepsi sederhana atau ide apapun tentang hal ini adalah serupa dengan sifat umum hukum alam, sebagai puncak pemahaman… berpikir adalah bekerja.

Dengan cara menampilkan sifat umum dari berpikir, Dietzgen melakukan demokritasasi atas sains dan filsafat. Keyakinannya adalah, setiap orang harus memiliki nilai, dan pikiran (ide) itu tidak boleh hanya diperuntukkan kepada elit intelektual. Karena ini berbeda dengan para akademisi dan para spesialis revolusi Marxian, “Pengetahuan dan studi tentang ini – Dialektika semesta – tidak dapat diserahkan hanya untuk guild – vanguard, intelektual, dan segala macam bentuk pengkotakkan lainnya, - karena pemikiran umum. (common thinking) akan selalu menjadi masalah publik yang harus diperhatikan oleh setiap diri kita sendiri.

Tetapi.. apa yang sebenarnya terjadi saat kita berpikir? Apa proses bawaan yang mendasari pemikiran; apa yang mendasari kita berpikir tentang membajak ladang, merenungkan semesta atau sekadar berkhayal? Pemikiran membutuhkan pembentukan konsep tentang dunia, sebuah proses yang melibatkan dua aspek yang berbeda:

Melalui pikiran kita menjadi sadar akan segala sesuatu dalam dua cara, di luar realitas dan di dalam pikiran. . . Otak kita tidak mengasimilasi hal-hal itu sendiri, tetapi hanya gambar-gambarnya. Pohon yang dibayangkan hanyalah pohon umum. Pohon asli berbeda dari yang lain. Dan meskipun saya mungkin memiliki gambaran tentang pohon khusus di kepala saya, namun pohon yang sebenarnya masih berbeda dari konsepsinya karena yang spesifik berbeda dari yang umum. [3]

Seseorang tidak boleh keliru atas gambaran tentang dunia yang ada dalam mentalnya – maksudnya pikiran -  tentang dunia dengan realitas itu sendiri. Yang nyata, hadir tidak persis seperti generalisasi yang terbentuk dalam pikiran. “ Pikiran abstrak apapun, baik makhluk, keberadaan, generalitas yang ada di sana, tidak bersifat jamak – beragam bentuk, atau berlipat ganda -  dalam manifestasi indra seseorang, dan secara individual gambaran ini berbeda dari semua hal lainnya? Seperti air tidak mengenal dua tetes air yang sama.” [4]

Pemikiran adalah suatu proses pembentukan generalisasi dari peristiwa-peristiwa tertentu atau hal-hal tertentu. Pemikiran melibatkan hal-hal spesifik dan individual di dunia dan generalisasi kita tentangnya. Pemikiran melibatkan generalisasi.

Ciri umum dari semua pemikiran yang cacah terdiri dari proses mencari karakter “keumuman”, atau kesatuan umum untuk semua objek, yang dialami dalam keanekaragaman objek yang beraneka ragam. [5]

Tapi generalisasi bukanlah semua yang kita lakukan saat kita berpikir, juga bukan tanpa masalah yang melekat. Jika kita mengambil generalisasi kita secara ekstrim, kita dapat dengan mudah tersesat dalam apa yang pada dasarnya merupakan konstruksi mental kita sendiri. Kita menjebak diri sendiri dengan menganggap produksi pikiran kita adalah kenyataan. Inilah yang terjadi pada orang-orang yang terjebak dalam sekte agama atau politik yang ekstrem. Untuk membawa diri kita kembali ke kenyataan, penting untuk tidak pernah melupakan aspek individu dan spesifik dari berbagai hal.

 

Generalisasi belaka adalah satu sisi dan pada mimpi fantastis. Dengan metode ini seseorang dapat mengubah apapun menjadi segalanya. Penting untuk melengkapi generalisasi dengan spesialisasi. . . yang general harus dipahami dalam hubungannya dengan bentuk-bentuk spesifiknya, dan bentuk-bentuk ini dalam interkoneksi universalnya. [6]

 

Kontradiksi Inheren Dalam Pikiran

Pemikiran adalah suatu proses yang melibatkan hubungan antara dua aspek yang berlawanan: aspek generalisasi dan aspek spesialisasi. Berpikir berarti selalu terlibat dalam proses yang kontradiktif.

Karena kesadaran menggeneralisasi perbedaan dan membedakan generalisasi. Kontradiksi adalah bawaan dalam kesadaran dan sifatnya sangat bertentangan sehingga pada saat yang sama – cara kerja pikiran -  merupakan sifat yang memilah perbedaan, memilih yang general dan memahamimya. Dengan demikian kesadaran adalah mengakui bahwa semua alam, semua makhluk, hidup dalam kontradiksi, bahwa segala sesuatu “menjadi apa” hanya jika bekerja sama dengan kebalikannya. [7]

Sama halnya dengan generalisasi, inilah jebakan yang harus kita hindari. Seseorang bisa begitu terjebak dalam kontradiksi yang kita hadapi sehingga menjadi tidak mungkin untuk mengambil keputusan. Namun, adalah mungkin untuk mencapai semacam keseimbangan atau sintesis antara pandangan yang berlawanan dan kontradiksi, setidaknya sebagian, dapat diatasi.

Nalar mengembangkan pemahamannya atas kontradiksi. Ini adalah sifat pikiran untuk melihat. . . sifat benda berdasarkan kemiripannya, dan kemiripannya berdasarkan sifatnya. . . atau dengan kata lain membandingkan kontras dunia satu sama lain, menyelaraskannya.

Batas dari pengetahuan kita

Dengan demikian, menjadi jelas, bahwa proses generalisasi atau pembentukan konsep hanya akan membatasi pemahaman kita terhadap dunia. Seperti sepuluh orang yang menyaksikan kecelakaan lalu lintas, mungkin masing-masing dari mereka memiliki sepuluh versi cerita berbeda tentang apa yang terjadi adalah benar-benar dimengerti. Sesungguhnya, apa yang kita lakukan adalah membentuk konsep tentang dunia melalui proses berpikir, menghasilkan sudut pandang yang paling mungkin mendekati realitas, tetapi tentu hasil itu sendiri bukan benar-benar realitas. Oleh karena itu, dan ini harus dijadikan prasasti, diukur dengan dua huruf setinggi dua kaki, kita, tidak memiliki pengertahuan atau kebenaran yang sempurna.

Hal Yang Paling Penting Dari Kesalahan

Bagi Dietzgen, tidak ada batasan pemisah jelas antara benar dan salah. Setiap kebenaran mengandung beberapa jumlah kesalahan, dan setiap kesalahan mengandung beberapa jumlah kebenaran. “Kebenaran dan kesalahan hanya berbeda dalam hal komparasi derajatnya. Seperti semua hal yang beroposisi dalam dunia ini… segalanya, semua persepsi indrawi, seberapa benar subjektifitas itu, adalah penggalan dari kebenaran tertentu”.

Kesimpulan singkatnya adalah, “Asumsi yang tidak beralasan – argumen tak berdasar – adalah sifat dari kesalahan,”. Maka dogmatisme itu harus dihindari.

Pikiran harus memiliki objek.

Dietzgen membuat pengamatan bahwa pikiran harus memiliki objek, yaitu, seseorang harus memikirkan sesuatu, bahkan jika ini hanya terdiri dari pemikiran tentang pikiran itu sendiri. Oleh karena itu, tidak ada pikiran tanpa tubuh—pikiran tanpa objek. Objek pemikiran ini diambil dari dunia luar (dan juga dari jiwa, suatu hal yang tidak diketahui oleh Dietzgen pra-Freudian). Oleh karena itu, dunia pada akhirnya mendahului pemikiran manusia. Dengan cara ini, Filsuf Proletar menyatakan dirinya sebagai seorang materialis, tetapi dia tidak puas dengan arti istilah yang biasa.

Kami . . . tidak boleh puas hanya dengan mengikuti contoh materialis lama yang mereduksi segalanya menjadi atom yang berat – terukur . Materi kosmik tidak hanya memiliki gravitasi, tetapi juga aroma, cahaya, dan suara—dan mengapa tidak juga kecerdasan? Konsepsi materi harus diberi makna yang lebih komprehensif. Dengan demikian, seharusnya, konsep materi adalah milik semua fenomena realitas. [17]

Idealisme vs Materialisme

Dietzgen mengaitkan perselisihan antara idealisme dan materialisme dengan pemutlakan perbedaan antara kedua konsep tersebut.

Kaum idealis menganggap akal saja sebagai sumber segala pemahaman, sedangkan kaum materialis memandang dunia persepsi inderawi dengan cara yang sama. Tidak ada yang diperlukan untuk solusi dari kontradiksi ini selain pemahaman tentang saling ketergantungan relatif dari kedua sumber pemahaman ini. . . Tetapi perbedaan-perbedaan ini termasuk dalam satu genus umum yang merupakan perbedaan antara yang khusus dan yang umum. [18]

Baik kaum idealis maupun materialis, Bagi Dietzgen memiliki konsepsi dunia yang tidak nyata.

Idealis melebih-lebihkan gagasan, sementara kaum materialis menagungkan materi, bagi Dietzgen keduanya adalah pemimpi . . . keduanya membedakan pikiran dan materi dengan cara yang fantastis dan tidak nyata. Tak satu pun dari mereka mengangkat diri ke kesadaran persatuan dan monisme. . . Alam yang bukan material atau mental, tetapi satu sama lain – kesatuan yang saling melengkapi. [19]

Kaum materialis lama berurusan dengan pertentangan yang tidak dapat didamaikan seperti halnya kaum idealis. [20]

Dunia mengandung mental dan material dan keduanya adalah nyata; semua yang nyata adalah yang membentuk dunia material. Segala sesuatu yang berpengaruh pada dunia yaitu materi juga nyata.

Kita harus membedakan antara objek persepsi indra dari citra mentalnya. Namun demikian, ide yang tidak berwujud juga material dan nyata. Saya merasakan ide saya tentang meja sama jelasnya dengan meja itu sendiri. Benar, jika saya memilih untuk menyebut hal-hal yang berwujud saja sebagai materi, maka gagasan bukanlah materi. . . Pikiran adalah nyata seperti wujud dari meja. . . Meskipun gagasan tentang hal-hal ini (idea) berbeda dari hal-hal itu sendiri (materi), namun memiliki kesamaan dengan mereka bahwa hal itu nyata sebagaimana adanya. [21]

Pemisahan antara ide-ide kita dan “realitas material yang nyata” tidaklah mutlak. Pertimbangkan efek imajinasi. Ciptaan imajiner kita sama-sama tidak nyata (tidak ada) namun memiliki beberapa realitas karena pada akhirnya didasarkan pada dunia yang ada secara objektif. Fantasi ini juga dapat berdampak besar pada kita, pikirkan saja ide gila Hitler atau Stalin. Menurut Dietzgen, "hanya ada perbedaan derajat yang moderat antara hal-hal yang murni imajiner dan apa yang disebut hal-hal nyata." [22]

Dietzgen juga menghargai imajinasi. Fantasi tentu saja memiliki kekuatan positif, dan intuisi spekulatif "sangat sering mendahului pemahaman empiris dan induktif". [23]

Kritik Dietzgen atas Materialisme Para Borjuis

Dietzgen menyerang materialisme sebagai semacam idealisme.

Karena ironisnya kaum materialis berbicara tentang materi tak berwujud (belum terlihat bentuknya) dan materi yang berwujud (sudah terlihat bentuknya), dalam nafas yang sama dengan bentuk-bentuk yang dapat musnah dari materi yang tidak dapat musnah,  menjadi jelas bahwa suesungguhnya materialisme tidak lebih tahu daripada idealisme mengenai hubungan isi dengan bentuk, tentang suatu fenomena dengan alam. sifat esensial dari subjeknya. Di manakah kita menemukan materi yang abadi, tidak dapat binasa, dan tidak berbentuk? [24]

Dietzgen tidak memiliki kesabaran untuk argumen yang mereduksi ide sebagai non-materi menjadi sekadar turunan dari “materi”.

 

Bagi kaum materialis lama, materi adalah subjek yang ditinggikan, semua hal lain tunduk pada praduga. . . sebuah pemikiran kuno dan sempit yang tidak memperhatikan karya ahli dialektika Jerman. Harus dipahami bahwa subjek hanya terdiri dari predikat. [25]

Ada perbedaan antara materialisme lama dan materialisme baru yang menjadi dasar filosofis Sosial Demokrasi.

Kami melihat tanda yang membedakan antara materialis mekanik. . . dan materialis Sosial Demokrat. . . dalam hal yang terakhir telah memperluas konsepsi materi yang sempit sebagai yang secara eksklusif terdiri dari Yang Berwujud untuk semua fenomena yang terjadi di dunia. [26]

Adalah salah untuk memisahkan pikiran dan materi secara ekstrim. Satu-satunya cara untuk memahami realitas adalah dengan melihat mental dan fisik dalam kesatuannya. "Materi" adalah konstruksi mental, tetapi "pikiran" tidak dapat ada tanpa dunia material dari objek dan kekuatan.

Pikiran adalah materi dan hal-hal adalah mental. Pikiran dan materi hanya nyata dalam keterkaitannya. [27]

Kata "materi" tidak sakral bagi Dietzgen dan dia tidak takut untuk meninggalkannya demi istilah yang lebih inklusif dan dengan demikian menghilangkan dualisme idealisme vs. materialisme.

Padat dan cair, kayu dan logam diringkas dengan tepat di bawah gagasan 'materi'. Mengapa kita tidak dibenarkan untuk menyimpulkan semua hal di bawah istilah 'kebenaran empiris' atau fenomena empiris? . . . Melalui asal usul yang sama, semua antagonisme direkonsiliasi dan dijembatani. Keanekaragaman hanyalah sebuah bentuk: pada hakikatnya semua hal adalah sama. . . kita menemukan apa yang semakin dibuktikan oleh ilmu alam, bahwa perbedaan yang tampaknya esensial hanyalah perbedaan derajat. . . Efek sebab dan efek penyebab. [28]

Dan mereka yang tidak menyukai generalisasi kata "materi" ini mungkin sebaliknya, berbicara tentang "fenomena" . . . nama spesies umum, yang menjadi milik segala sesuatu, yang dapat direnungkan dan yang tidak dapat direnungkan, tubuh dan jiwa. [29]

 

Meskipun demikian, ia bersedia menerima nama “materialis”, tetapi dengan syarat:

Tetapi sekarang kami kaum Sosial Demokrat menerima nama [kaum materialis] yang dianggap oleh lawan kami untuk melecehkan kami, karena kami tahu bahwa 'batu yang ditolak oleh pembangun menjadi batu penjuru'. Kami sama-sama dibenarkan untuk menyebut diri kami idealis, karena sistem kami didasarkan pada hasil akhir filsafat, pada penyelidikan ilmiah atas gagasan. [30]

 

Dalam menolak materialisme yang mereduksi semua fenomena menjadi “materi”, Dietzgen juga menolak teori pengetahuan yang dikenal sebagai “teori refleksi”. Konsep ini, yang dikembangkan oleh Lenin dalam Materialism and Empireocriticism, melihat konsep dan ide hanya sebagai salinan atau refleksi dari “dunia material”, seperti kamera yang mereproduksi gambar.

Tidak ada yang lebih hambar yang dikatakan tentang kebenaran dan pengetahuan selain . . . kebenaran itu adalah kesesuaian pengetahuan kita dengan objeknya. Bagaimana gambar bisa "sesuai" dengan modelnya? Sangat mungkin bisa. . . Tetapi untuk menjadi sama sekali, persis sama dengan aslinya, sungguh ide yang tidak normal! Dengan demikian kita hanya dapat mengetahui Alam dan bagian-bagiannya secara relatif, karena bahkan suatu bagian, meskipun hanya hubungan Alam, memiliki kembali sifat-sifat Absolut, sifat dari SEMUA EKSISTENSI yang tidak dapat dilenyapkan oleh pengetahuan.

Esensi dari Kesatuan Dunia

Dietzgen menyebut filosofinya monist, yang mengacu pada pandangan bahwa semua eksistensi pada akhirnya bersatu.

Kesadaran itu sendiri adalah kesadaran akan yang tak terbatas. Keyakinan kita yang mantap tentang kesatuan alam semesta adalah logika bawaan. Kesatuan dunia adalah kategori tertinggi dan paling universal. Melihat lebih dekat. . . mengungkapkan fakta bahwa ia membawa kebalikannya, multiplisitas Tak Terbatas. [32]

Kesatuan eksistensi adalah bawaan dalam pikiran manusia. “Dengan tangan kita, kita hanya menangkap yang nyata, dengan mata kita hanya yang terlihat, tetapi dengan pemahaman kita, kita memahami seluruh Alam, Alam Semesta.” [33]

Pemisahan absolut dari setiap aspek keberadaan dari yang lain, meskipun bukan kebenaran hakiki tentang realitas, juga merupakan ciptaan pikiran.

Kesadaran menandakan pengetahuan tentang keberadaan. Itu berarti memiliki setidaknya firasat samar tentang fakta keberadaan adalah ide universal. Proses kemenjadian adalah segalanya; itu adalah inti dari segalanya. . . intelek manusia tidak mengetahui pemisahan mutlak dari dua hal, meskipun ia bebas untuk memisahkan alam semesta menjadi bagian-bagiannya untuk tujuan pemahaman. [34]

Keberadaan adalah satu-satunya yang mutlak.

Kebenaran mutlak, kebenaran unviersal hanyalah sifat keberadaan umum dari Semesta yang memliki kuantitas absolut. Tetapi dunia nyata benar-benar relatif, benar-benar dapat musnah, manifestasi yang tak terbatas. . . Semua kebenaran hanyalah bagian dari dunia ini, kebenaran parsial. . . Tanda umum kebenaran adalah keberadaan. [35]

Realitas tidak dapat direduksi menjadi ide atau materi, (keduanya merupakan konstruksi manusia) tetapi satu "hal" yang dapat diselesaikan adalah Semesta atau Totalitas. Di sini, Dietzgen percaya, adalah satu-satunya tempat yang kokoh untuk melabuhkan filosofi, karena semua konsep terbatas pada akhirnya terbukti ilusi. Di atas dasar yang kokoh ini, Dietzgen mampu merekonsiliasi masalah klasik filsafat, seperti kehendak bebas vs determinisme, materi dan kekuatan, sebab dan akibat, dan materialisme vs idealisme. Kebalikan ini tidak berlawanan seperti yang dipikirkan orang, atau seperti yang dia nyatakan, “Kami tidak menganggap kekuatan hanya sebagai predikat materi. Konsepsi kita tentang materi dan kekuatan, bisa dikatakan, demokratis. Yang satu memiliki nilai yang sama dengan yang lainnya; semuanya individu tapi properti. . . dari seluruh Alam.” [36] 

Kami mengasumsikan kesatuan dunia yang mendasari tindakan kita sehari-hari, karenanya apriori Tanner memang merupakan asumsi paling mendasar dari kesadaran kita. Kita tidak akan dapat berfungsi untuk waktu yang lama tanpa konsep terkait tentang keberadaan, koherensi, dan kesatuan dunia. Sains didasarkan pada ide esensial ini dan tidak mungkin tanpanya. Dan jika dunia itu dualistik, dan ada keberadaan lain yang benar-benar terpisah, kita tidak akan bisa mengetahuinya. Oleh karena itu pemisahan mutlak tidak ada artinya.

Sebab dan Akibat

Dietzgen menangani masalah sebab dan akibat secara agak ekstensif. Sains mencari sebab-sebab peristiwa dan dianggap sebagai penemuan penting ketika hubungan sebab akibat ditemukan. (Kami diberi tahu bahwa kuman menyebabkan penyakit.) Masalah bagi ahli metafisika dan ilmuwan adalah bahwa kami jarang menemukan penyebab sesuatu dan penemuan kami sering menimbulkan lebih banyak pertanyaan. (Jika kuman menyebabkan penyakit, mengapa kita tidak selalu sakit, karena kita selalu dikelilingi oleh kuman?)

 

Dengan demikian hal-hal menjadi sebab timbal balik dan akibat timbal balik. Seluruh dunia fenomena, di mana pikiran hanyalah sebagian, adalah lingkaran mutlak, di mana awal dan akhir ada di mana-mana dan tidak di mana pun, di mana segala sesuatu pada saat yang sama adalah esensi dan kemiripan, sebab dan akibat, umum dan konkret. . Sama seperti semua Alam pada akhirnya adalah satu kesatuan umum tunggal. . . jadi Sifat yang sama ini. . . adalah penyebab akhir dari segala sesuatu. [37]

 

Nalar, dan bukan persepsi indra, adalah sarana pamungkas yang melaluinya kita sampai pada gagasan tentang "sebab".

 

Penyebab, pada contoh terakhir, tidak diperhatikan dan dilengkapi dengan cara . . . persepsi indra. Mereka dipasok oleh kemampuan berpikir. . . bukan produk ‘murni’ dari kemampuan pikiran, tetapi dihasilkan olehnya sehubungan dengan persepsi indria. . . Penyebabnya adalah generalisasi mental dari perubahan yang terlihat. . . Penyebab spekulatif menciptakan efeknya. Namun pada kenyataannya efek adalah materi yang darinya otak, atau ilmu pengetahuan, membentuk penyebabnya. Konsep sebab adalah produk akal. . . menikah dengan dunia persepsi indra. [38]

 

Jadi Dietzgen sekali lagi memerangi arogansi, jenis yang ditemukan pada teknokrat dan "rencana ilmiahnya" yang tak berkesudahan, Marxis dogmatis, atau neo-liberal dan "hukum ekonomi" yang tidak fleksibel. Kita tidak boleh mengagungkan penemuan, ide, atau konsep kita, karena ini semua adalah batasan realitas yang telah kita buat. Pengetahuan kita lebih cenderung abu-abu dan tidak jelas daripada garis hitam dan putih yang tajam. Bukan karena kerja keras mental kita menghasilkan ketidakbenaran total atau semuanya adalah fantasi subyektif, tetapi konstruksi kita hanyalah perkiraan dari kenyataan. Seperti yang dapat dibuktikan oleh jutaan korban arogansi abad ke-20, pengetahuan kita selalu terbatas, pengetahuan parsial, dan berpikir sebaliknya berarti jatuh ke dalam kesalahan yang dalam dan berbahaya.

Problem dalam Bahasa

Dietzgen menyadari bahwa banyak masalah filsafat muncul dengan penggunaan bahasa yang tidak memadai. Dengan cara ini, dia menggarisbawahi pekerjaan Wittgenstein dan para filsuf analitik.

Kelambanan yang menghalangi kaum idealis sepihak di satu pihak dan kaum materialis sepihak di pihak lain untuk mencapai pemahaman yang damai dapat ditelusuri ke salah satu kesalahan lidah itu. Kami tidak memiliki istilah yang tepat untuk menunjukkan hubungan antara fenomena spiritual. . . dan yang berwujud. . . hal di sisi lain. [39]

Dia tidak menganggap kata-kata sebagai realitas, seperti yang dilakukan banyak intelektual, tetapi menganggapnya sebagai simbol. "Kata-kata adalah nama, yang tidak, dan tidak bisa, memiliki fungsi lain selain dari ilustrasi simbolik." [40]

Sains dan Saintisme

Seperti hampir semua pemikir abad ke-19, Dietzgen menganggap karya-karyanya ilmiah. Pada saat ini, (tahun 1870-an) istilah “sains” mulai berubah makna. Sebelumnya, setiap badan pengetahuan yang terorganisir dianggap sebagai sains dan tidak ada kesan kepura-puraan atau saintisme dalam berbicara tentang "ilmu memasak" atau "sosialisme ilmiah". Dengan munculnya Positivisme dan materialisme, muncullah penggunaan kata yang baru dan lebih terbatas. Istilah "sains" sekarang direduksi menjadi bidang-bidang penyelidikan yang menerapkan metodologi ilmu-ilmu alam. Positivisme terlibat dalam pencarian hukum alam yang tidak dapat diubah yang dianggap ada secara independen dari pengamat. Pendekatan lain apa pun dianggap tidak ilmiah atau pseudo-sains dan dikutuk dalam bahasa yang mirip dengan yang digunakan oleh para pemburu ajaran sesat abad keenam belas. Sains telah menjadi absolutisme baru dan takhayul baru. Itu terlalu banyak untuk Tanner untuk perut.

 

Ada banyak orang di antara kita yang, alih-alih menganggap sains sebagai pelayan peradaban, malah mengidolakan dan menyembahnya . . . Mereka seperti orang barbar yang mengubah hukum alam dan sosial menjadi keilahian. . . Demokrasi sosial berkewajiban untuk menghancurkan takhayul agama dan ilmiah. [41]

Dia mencela ilmuwan dan akademisi karena elitisme mereka dan menganggap mereka idealis (dalam pengertian filosofis) sebagai materialis yang filosofisnya tidak diragukan lagi berasal dari mereka.

Setelah mewujudkan segala sesuatu yang spiritual, tidak ada yang tersisa bagi para profesor selain spiritualisasi profesi mereka sendiri, sains. Mereka menganggap pengetahuan akademis berbeda jenisnya dengan, katakanlah, pengetahuan petani, tukang celup, atau pandai besi. Pertanian ilmiah, bagaimanapun, hanya sejauh di depan pertanian biasa bahwa aturan atau pengetahuannya tentang apa yang disebut hukum alam adalah generalisasi dari jenis yang lebih komprehensif. Mereka berbeda satu sama lain dalam derajat dan bukan dalam esensi. . . kami ingin mengatasi klaim aristokrasi intelek. [42]

 

Ilmu alam belum meninggalkan materialisme mekanis lama. “Ilmu modern bahkan sampai hari ini masih dijiwai oleh bias kaum materialis abad ke-18.” [43]

Ilmu tertinggi adalah filsafat.

Sains positif dapat memberi kita pengetahuan tentang banyak aspek dunia, tetapi diserahkan kepada bentuk pemikiran (atau sains) lain untuk memahami dunia. Ilmu alam di satu sisi berada di bawah filsafat—ilmu yang menyelidiki pertanyaan-pertanyaan dasar yang biasanya diterima begitu saja oleh para ilmuwan alam—pertanyaan seperti, "Apa yang dipikirkan?", "Apa itu kebenaran?" dan "Mengapa bicara eksistensi ketika tidak ada apa-apa?" – Why Existence, neither nothing -  Ilmu positivis bahkan menolak untuk membiarkan pertanyaan semacam itu ditanyakan, pendekatan yang agak tidak ilmiah dan tidak logis untuk sedikitnya.

Ilmu alam dalam pengertiannya yang lebih sempit tidak dapat memberi kita konsep monistik tentang dunia. . . [ini] diselidiki oleh ilmu terpisah yang disebut Logika, atau Epistemologi atau Dialektika. [44]

Individualisme Dietzgen

Berakar pada konsep bahwa semua pemikiran pada dasarnya serupa, filosofi Dietzgen sejak awal bersifat demokratis dan egaliter. Satu orang mungkin tahu lebih banyak dari yang lain, tetapi perbedaan antara individu hanya bersifat kuantitatif, bukan kualitatif. Menjadi manusia berarti memiliki kapasitas akal. Sudut pandang seperti itu sangat menjunjung tinggi individu, karena pendapat setiap orang, dan karenanya setiap orang, dipandang memiliki nilai intrinsik.

 

Konsep esensial individualitas juga ada dalam filosofinya, ditunjukkan oleh keyakinannya bahwa setiap tetes air berbeda satu sama lain. Dan jika tetesan air adalah individu, pertimbangkan individualitas makhluk kompleks itu, Homo sapiens, atau seperti yang dia nyatakan, "kemanusiaan adalah sebuah ide, sedangkan manusia selalu merupakan pribadi yang istimewa." [45]

 

Konsep Sejarah Dalam Pemikiran Dietzgen

Konsep Dietzgen tentang sejarah terkait dengan evaluasinya terhadap individu. “Hanya kesadaran akan kebebasan individu yang menciptakan ketidakpedulian yang cukup terhadap aturan yang dibuat oleh orang lain untuk memungkinkan kemajuan yang berani, yang membebaskan kita dari perjuangan untuk cita-cita absolut yang ilusif, untuk beberapa “dunia terbaik”. [46]

Ketidakpeduliannya terhadap peraturan yang dibuat oleh orang lain memungkinkannya memutuskan hubungan dengan SLP dan membantu kaum anarkis yang terkepung. Pada saat pandangan sejarah yang sangat determinis hampir menghilangkan faktor kehendak manusia, Tanner mencatat bahwa "kemanusiaan merevolusi standar tertingginya, singkatnya, ia membuat sejarah." [47] Pandangan holistiknya tentang manusia, sejarah, dan alam melindunginya dari jatuh ke dalam perangkap utopis dan kebalikannya, jenis keputusasaan yang sering kita lihat hari ini. Dia juga tidak memiliki keyakinan buta akan kemajuan seperti banyak orang sezamannya.

Progres dalam sejarah adalah mengangkat anak dan memandikannya dalam bak mandi. . . Kekayaan peradaban saat ini hanya disebabkan oleh administrasi ekonomi dari perolehan masa lalu. Evolusi sama konservatifnya sama dengan revolusi itu sendiri, dan proses itu menemukan banyak kesalahan dan kebenaran dalam setiap hukum. [48]

Dietzgen, seperti kebanyakan kaum Marxis, berpendapat bahwa masyarakat kelas adalah tahap yang diperlukan dalam sejarah manusia.

Saya bahkan cenderung untuk mengakui bahwa tugas mengembangkan tenaga kerja kita ke tingkat kesuburan yang luar biasa yang kita lihat sekarang, memerlukan kelas penguasa yang istimewa serta eksploitasi massa. Saya siap untuk menerima dengan sabar kesengsaraan masa lalu, dan tidak menanggungnya dendam atau kedengkian. [49]

Evolusi sosial bukanlah nihilistik, tidak ada catatan bersih yang menghapus masa lalu dan sebanyak yang dipertahankan sebanyak yang ditolak. Baik radikal maupun konservatif diperlukan. Juga tidak perlu meminta seseorang untuk disalahkan atas penyakit dunia, sejarah hanya ADALAH dan kita semua adalah bagian darinya.

Pada saat yang sama kita berdamai dengan dunia sebagaimana adanya, karena kita tidak lagi menganggapnya sebagai realisasi yang tidak berhasil dari apa yang tidak bisa tidak terjadi. Dunia selalu benar. Apapun yang ada, adalah benar dan tidak ditakdirkan untuk menjadi sebaliknya sampai berubah. Di mana pun ada keberadaan, yang merupakan kekuatan, di situ juga ada hak tanpa syarat lebih lanjut, karena itu benar dalam tahap formatif. Kelemahan tidak memiliki hak lain selain berjuang untuk supremasi. . . memaksa pengakuan akan kebutuhannya yang telah lama ditolak. [50]

 

Tidak seperti beberapa anarkis yang berpikir mungkin untuk sepenuhnya menghapuskan kekuasaan, Dietzgen mengakui bahwa keberadaan adalah kekuatan. Yang “lemah” yang dia maksud tidak diragukan lagi adalah kelas pekerja, yang dalam perjuangan mereka untuk pengakuan kebutuhan mereka, mengatasi kelemahan mereka. Bahwa "dunia selalu benar" tampak mengerikan di era yang telah melihat orang-orang seperti Pol Pot dan Hitler. Namun, pernyataan ulang Hegel yang sering dikutip dan selalu disalahpahami "Real is Rational" ini bukanlah penghapusan kejahatan sejarah. Ini hanya menyatakan bahwa sejarah adalah proses di mana peristiwa memiliki sebab—dalam pengertian terbatas tentang sebab dan akibat yang digunakan Dietzgen. Hitler, misalnya, tidak jatuh dari langit, dan rakyat Jerman juga tidak dilanda kegilaan sementara; kebangkitannya ke tampuk kekuasaan disebabkan oleh rasisme dan otoritarianisme masyarakat Eropa, Perjanjian Versailles yang menghukum, penghancuran kelas menengah, ketakutan mereka akan revolusi sosial, dll.

Dietzgen dan Spiritualitas

Kita telah melihat dalam filosofi Dietzgen bahwa pengetahuan manusia terbatas dan satu-satunya Absolut yang ada adalah Totalitas Keberadaan atau Alam Semesta. (Dengan Alam Semesta, dia tidak bermaksud apa yang para astronom maksudkan dengan itu, melainkan yang dia maksudkan Keberadaan — semua yang pernah terjadi, semua yang terjadi sekarang, semua yang akan terjadi). Dia mengamati bahwa jika antropomorfisme, takhayul, dan sulapan dilucuti dari agama, yang tersisa adalah Yang Mutlak. Tuhan adalah kata lain untuk Yang Mutlak atau Totalitas Keberadaan,

 

Wujud yang serba sempurna, dengan konsepsi tentang Tuhan, dengan Substansi Spinoza, dengan "benda dalam dirinya sendiri" dari Kant, dan dengan Absolut Hegel, memiliki alasan yang baik dalam fakta bahwa konsepsi yang bijaksana tentang Semesta sebagai Semua-Satu dengan tidak ada yang di atas atau di luar atau di sampingnya, adalah dalil pertama dari cara berpikir yang terampil dan konsisten. [51]

 

Agama memiliki aspek positif dan negatif. “Sejarah menunjukkan kepada kita tidak hanya sisi negatif dan konyol dari agama, adat istiadat, institusi, dan gagasan masa lalu, tetapi juga sisi positif, masuk akal, dan perlu mereka. . . ketika agama adalah urusan yang lebih serius, itu juga tidak terlalu mendua.” [52]

 

Iblis hanyalah sebuah alat, kehidupan duniawi hanyalah masa transisi masa pencobaan untuk kehidupan kekal. Ada pusat gravitasi dan sistem. Dibandingkan dengan setengah hati modern. . . agama memang mencakup keseluruhan dengan cara monistik. [53]

 

Sementara kekejaman, takhayul dan kontrol dari kelas bawah merupakan elemen utama dari agama, hal itu tidak dapat dihapuskan begitu saja. Seperti yang lainnya, agama memiliki inti rasional. Dia tidak malu disebut ateis, tetapi agama tidak membuatnya takut.

 

Jika dia adalah seorang ateis yang menyangkal bahwa kesempurnaan dapat ditemukan dalam diri seseorang, maka saya adalah seorang ateis. Dan jika dia adalah seorang yang beriman kepada Tuhan yang memiliki keyakinan pada "makhluk yang paling sempurna" yang tidak hanya ditempati oleh para teolog, tetapi juga Cartesius dan Spinoza, maka saya adalah salah satu dari anak-anak Tuhan yang sejati. [54]

 

Menurut Dietzgen, masalah dengan agama adalah bahwa ia mempersonifikasikan Tuhan sebagai simbol seperti Bapa atau Raja Ilahi, dan simbol itu dianggap sebagai realitas. Jadi, kita memiliki pandangan kekanak-kanakan tentang Tuhan sebagai orang tua di atas awan yang menuliskan dosa-dosa kita dalam sebuah buku besar. Yang Mutlak jauh melampaui apa pun yang begitu terikat bumi dan antropomorfik sebagai personifikasi, atau seperti yang dikatakan Dietzgen, "yang tak terbatas, abadi, bukanlah pribadi, tetapi objektif." [55]

 

Agama ortodoks telah menjadi terlalu transendental dan telah melupakan imanensi—Yang Mutlak telah disingkirkan dari dunia dan ini salah.

 

 

Politik Ala Dietzgen

Saat tinggal di Jerman, Dietzgen adalah anggota dari Partai Sosial Demokrat. Ini tidak berarti dia adalah seorang Sosialis Negara. Apa yang dia usulkan adalah sebuah sistem produksi kooperatif dan bukan kepemilikan Negara: “penyelamat kemanusiaan hanya dapat ditemukan dalam kerja kooperatif dan persaudaraan.” [58]

Masyarakat koperasi adalah masyarakat tanpa pembagian kelas. “Hanya dari penghapusan aturan kelas, dari transformasi organisasi kapitalistik yang mementingkan diri sendiri menjadi alat-alat produksi kooperatif yang akan menghasilkan persaudaraan manusia yang sejati.” [59]

Bagaimana persemakmuran koperasi terjadi? Tentu saja tidak melalui manipulasi sekelompok akademisi yang sok tahu atau Bos Baru. Itu perlu membebaskan kelas pekerja melalui pekerja itu sendiri. . . distribusi barang-barang ekonomi yang lebih adil dan populer hanya dapat diwujudkan dengan demokrasi [bukan] aturan klik dengan dalih superioritas intelektual. [60]

Perubahan sosial tidak akan terjadi melalui pekerjaan misionaris, atau skema utopis. Keselamatan datang bukan dari pencerahan agama, politik dan sosial, tetapi tumbuh secara organik dari perkembangan ekonomi sosial. (Dietzgen, seperti semua kaum Marxis pada zamannya, terlalu optimis tentang kematian kapitalisme.)

Kami tidak mencari keselamatan dalam skema subyektif, tetapi kami melihatnya tumbuh sebagai semacam produk organik dari jalur perkembangan aktual yang tak terelakkan. Yang kami lakukan hanyalah memfasilitasi kelahirannya. . . . yang membebaskan kita dari perjuangan untuk cita-cita absolut yang ilusif, untuk beberapa "dunia terbaik" [61]

 

Dan juga:

Kami juga menuntut pemulihan hak asasi kami. . . ini . . . bukanlah spekulasi kosong, tetapi merupakan hasil alami dari kebutuhan material saat ini. . . [ekonomi koperasi] . . . cukup sesuai dengan sifat sistem saat ini: ia harus datang: bahan-bahannya diproduksi dan digandakan setiap hari. Kapitalis adalah ulat sutera yang sesungguhnya. . . Pertanyaan prematur tentang masa depan, Kapan, Dimana, dan Bagaimana tidak perlu mengganggu kita, itu memang spekulasi 'filosofis' yang sia-sia. [62]

Dietzgen meramalkan gagasan IWW tentang “Baru dalam cangkang yang lama”: “Masyarakat yang kita perjuangkan berbeda dari saat ini tetapi dengan modifikasi. Masyarakat masa depan terkandung dalam masyarakat saat ini seperti burung muda di dalam telur.” [63]

Positivisme dengan apa yang disebut Hukum Abadi ditolak dalam politik dan juga filsafat. Aktivis juga tidak boleh melakukan lebih dari mendidik dalam arti luas. Mereka bukan komandan militer:Demokrasi Sosial tidak berusaha untuk mendirikan hukum abadi, institusi permanen atau bentuk yang tidak dapat diubah; itu mencari keselamatan umat manusia. Sarana yang sangat diperlukan. . . adalah pencerahan mental. [64]

Filosofi Dietzgen, yang dibangun di atas toleransi, hanya dapat menuntut praktik politik yang toleran dan memungkinkan munculnya berbagai pendapat: “Dalam praktiknya kita harus toleran secara ekstrim dan tentunya tidak ada Sosial Demokrat yang akan pernah berpikir untuk memasukkan anggota Partai mana pun ke dalamnya. jaket seragam yang lurus. [65]

Yang relatif dan yang absolut tidak terletak begitu jauh seperti yang dilukiskan kepada manusia oleh rasa Keabadian yang tidak tergarap yang disebut Agama . . . Yang Mutlak dan Yang Relatif tidak terpisah secara transendental, mereka terhubung satu sama lain sehingga Yang Tak Terbatas terdiri dari jumlah terbatas yang terbatas dan setiap fenomena yang terbatas memiliki sifat Yang Tak Terbatas.” [56]

Satu kutipan terakhir menunjukkan sikap yang mengingatkan kita pada Khotbah Di Bukit: “Jangan pernah kasar dalam menilai orang lain . . . Untuk bertindak dengan sopan, Anda harus berpikir dengan sopan. Kebajikan dan kesalahan digabungkan. Bahkan bajingan adalah orang baik dan orang benar berbuat dosa tujuh kali sehari.

Tentang Ekonomi

Ada sedikit bahasa Inggris tentang gagasan ekonomi Dietzgen. Apa yang memang ada itu menarik karena menandakan perkembangan selanjutnya. Tidak seperti banyak sosialis pada zamannya, dia melihat bahwa tenaga kerja bergaji tinggi diperlukan untuk pembangunan ekonomi, baik kapitalis maupun sosial demokrat.

Kebutuhan utama untuk kemajuan peradaban adalah kebebasan masyarakat untuk berpartisipasi dalam konsumsi. . . kekayaan, yang dulu menjadi pendorong kemajuan, kini berubah menjadi faktor stagnasi sejarah. . . secara keseluruhan harus diakui bahwa pertumbuhan produksi dikendalikan oleh masalah konsumsi. [66]

Tetapi si kapitalis terlalu mementingkan keuntungan langsung untuk menaikkan upah.

Bisnis macet, dan tidak ada permintaan barang. Satu-satunya jalan keluar dari bencana ini adalah partisipasi massa dalam konsumsi; upah harus dinaikkan dan waktu kerja dikurangi. Tapi kapitalis yang cukup makan . . . terlalu berpikiran sempit untuk membayar produsen kekayaannya, pekerja, dengan baik . . . Tidak hanya sosial demokrasi, tetapi ekonomi nasional menuntut konsumsi yang lebih besar, pasar yang lebih luas untuk produk-produknya.

 


 

[1] Joseph Dietzgen, Th e Nature of Human Brain Work (Oakland: PM Press, 2010), 18.

[2] Ibid., 6.

[3] Ibid., 20.

[4] Ibid., 44.

[5] Ibid., 27.

[6] Joseph Dietzgen, The Positive Outcome of Philosophy, trans. Ernest Untermann (Chicago: Charles H. Kerr, 1906), 357.

[7] Ibid., 33.

[8] Ibid., 88.

[9] Ibid., 350.

[10] Ibid., 430.

[11] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 47.

[12] Joseph Dietzgen, Th e Positive Outcome of Philosophy, (Chicago: Kerr, 1906), 265.

[13] Dietzgen, Th e Nature of Human Brain Work, 43.

[14] Ibid., 47.

[15] Ibid., 48.

[16] Ibid., 83

[17] Joseph Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, trans. M. Beer and Th . Rothstein (Chicago: Charles H. Kerr, 1906), 221.

[18] op cit., 69.

[19] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 294.

[20] Ibid., 298.

[21] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 19.

[22] Dietzgen, The Positive Outcome of Philosophy, 367.

[23] Ibid., 9.

[24] Dietzgen, Th e Nature of Human Brain Work, 34.

[25] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 295.

[26] Ibid., 298.

[27] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 21.

[28] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 5.

[29] Ibid., 218.

[30] Ibid.

[31] Ibid., 140.

[32] Dietzgen, The Positive Outcome of Philosophy, 410.

[33] Ibid., 45.

[34] Ibid., 361.

[35] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 42.

[36] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 301.

[37] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 58.

[38] Dietzgen, The Positive Outcome of Philosophy, 438.

[39] Ibid., 361.

[40] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 103.

[41] Ibid., 103.

[42] Ibid., 128.

[43] Ibid., 299.

[44] Ibid., 220.

[45] Dietzgen, Th e Nature of Human Brain Work, 107.

[46] Ibid., 96.

[47] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 113.

[48] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 95.

[49] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 97.

[50] Ibid., 109.

[51] Ibid., 274.

[52] Dietzgen, The Nature of Human Brain Work, 96.

[53] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 148.

[54] Dietzgen, The Positive Outcome of Philosophy, 244.

[55] Ibid., 437.

[56] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 288–289.

[57] Industrial Worker, April 17, 1937.

[58] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays,108.

[59] Ibid., 160.

[60] Ibid., 127–131.

[61] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 179.

[62] Ibid., 191–2.

[63] From the Volkstaadt, as quoted in Industrial Worker, April 17, 1937.

[64] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 225.

[65] Ibid.

[66] Dietzgen, Some of the Philosophical Essays, 98–99.

[67] Ibid., 178.

 


Komentar