Domba-Domba Kematian




Kepalaku hampir pecah. Bantal merah sobek itu, memuntahkan kapuk, ketika aku bernafas. Semakin kencang nafasku, semakin banyak kapuk yang keluar. Ini baru pecah setengah, atau mungkin hampir pecah berkeping, semakin keras tegangan di kepalaku, semakin kencang nafasku. Kapuk itu terbang, terbang pelan-pelan dan habis dari dalam bantal, dan menutup mataku. Rasanya seperti masuk ke dalam tubuh domba, segalanya putih.

Aku harus bangun. Aku harus sadar, sebelum ingatan ini, sepenuhnya memutih, Pelan berjalan kembali, ke pintu masuk, sebelum bantal sialan itu menyeretku ke alam ini. Seperti melewati kabut pekat, yang sulit ditebak, ada apa setelah kabut?. Peduli setan, entah ranjau, entah jurang, aku perlu keluar sana. Mungkin ini sudah habis setengah jalan. Titik kabut pertengahan jalan hampir menyusut, tetapi tidak membuka jalan sama sekali. Hanya terlihat buku berwarna merah, seingatku, itu buku terakhir yang kubuka lamannya, perlahan-lahan. Benar, itu buku Senjakala Berhala dan Anti-Krist-nya Nietszche.

Seseorang harus mengalami. Omong kosong itu pengetahuan. Apa yang kamu kira sudah benar-benar kamu ketahui, kamu pahami, itu hanya ilusi, yang datang dari luar dirimu sendiri.  Kamu kira, kamu memahami dirimu? Kamu memahami, apa yang kamu lakukan, adalah perilaku yang baik, atau buruk?. Kamu kira, hari lalu ketika kamu bersetubuh di kasur doraemonmu, perempuan pasangan senggamamu benar-benar orgasme? Atau itu ilusimu, kehendakmu saja, tanpa keterlibatan dirinya. Jangan pernah memaksakan, apa yang pernah kamu rasa, disamakan dengan apa yang orang rasakan. Orang wajib mengenal dirinya sendiri. Demikian Zarathustra berkata, kata-kata orang itu, kata-kata yang dibuat Nietzsche dalam buku itu.

Hutang bulan ini menumpuk. Di depan indekos, ada toko emas milik Om Hwang Xie. Bono, nama panggilanya. Tetangga tokonya, pedagang lotong, pernah berkata, nama Bono sudah paten sejak ia tinggal di sini tahun 86. Pemerintah membenci segala hal yang berbau Tionghoa. Penjajah, penjilat dan tidak berpancasila, katanya. Agar seseorang lulus sensor uji kewarganegaraan, maka mengganti nama dengan belakang huruf vokal O sangat membantu. Orang Jawa, rata-rata nama belakangnya O. Bilang saja, Bono, Tionghoa peranakan, istri asli Lamongan.

Aku mengenal Bono. Pernah suatu hari, di musim hujan, suhu merubah kaca menjadi beling. Pecah jadi kepingan tajam berserakan. Di kamar kos sepetak ini, kardus mie gorengku sisa bungkus. Kos hijau remang pudar ini, kulit tembok terkelupas, persis takdirku menghadapi tunggakan penagih hutang bajingan. Aku mengerti, penagih hutangku ini, tidak berencana menyiksaku dengan daftar kas bon yang ia tunjukkan. Si brengsek kaya itu yang mengejar hutang seratus ribu, seperti menunggu momen tepat menanam saham di Wall Street. Bonolah yang menyelamatkan ususku yang sedang meringik. Mungkin jika tidak kuketuk pintu toko Bono, usus ini sudah berubah menajadi cemeti. Memukul perutku seperti kuda jantan.

Bangun.. aku harus kabur dari pengaih hutang itu. Sudah cukup aku mencari jalan lekas membayar hutang dengan cara merampok. Melihat Bono sedang tertidur pulas, dengan istrinya, di ujung sisa ruang tokonya, yang ia sisihkan untuk kamar, aku terpaksa harus masuk. Sudah kugandakan kunci untuk membuk tralis toko itu. Aku tahu, Bono akan tertidur pulas setelah bercinta. Hari itu, Malam Minggu. Jadwal bercintaku, malam Minggu, kata Bono saat bermain catur bersamaku minggu lalu. Wah, kalo oe sudah main, matahari terbit seperti hidup baru dimulai. Lu olang halus coba. Kata Bono. Malam Minggu, pukul 2 pelan-pelan kubukta tralis, dan kuambil 50 gram emas dari tokonya. Aku tidak ingin merampok sepenuhnya. Kita berkawan bukan, Bono.

Tapi, anjing! Kabut ini seperti kafan. Nafasku berubah kencang, detak jantung ini apalagi. Tiba-tiba, ada suara terompet panjang dari radio. Perlahan, pelan-pelan kudekati radio itu. Bukan lagi yang asing, vokal tinggi dengan iringan Hijaz. Ini Ithlal. Lagu langgam dari Mesir yang dibawa Umm Kultsum. Tapi siapa itu, di samping radio, ada tangan yang sedang memutar tombol volume dari radio itu. Bukan tangan asing. Seorang perempuan dan hafal lancar lirik-lirik dari lagu itu. Nenekku. Di sampingnya, ada seorang anak laki-laki kecil, mungkin berusia 5 tahun sedang dijinjing. Aku mengingatnya.

Gambaran itu, adalah hari kepulangan nenekku kembali ke Indonesia, setelah lama bekerja di Madinah selama 10 tahun. Aku baru mengenalnya di hari itu, dengan 3 kotak besar berisi coklat dan boneka dari Arab. Ini, Umi, nenek kamu, dulu terpaksa untuk ke Madinah agar kami semua bisa hidup, ada suara lain di situ. Suara ibuku. Hanya saja segalnaya samar, dan hanya tersisa Umi yang menari bersamaku dulu, di ruang tengah rumah kakek. Setelahnya kabur. “Kelak kamu menjadi ulama, nak, seperti buyutmu”. Setelahnya hilang.

Semuanya, pelan-pelan terang. Cahaya masuk dari jendela kos. Jendela itu? Benar-benar pecah?. Apa benar semalam aku bermimpi?, sementara di depan rak bukuku, seorang perempuan sedang menyisir rambut, dengan tubuh telanjang.  “Kamu kenapa lagi?”. Elisia, pacarku, sedang membuka catatan harian Seneca. “Dunia tertidur dan orang-orang sedang bermimpi. Tapi esok, ketika subuh tiba, kita bisa membuat mimpi kita menjadi kenyataan” ia membaca pelan-pelan kalimat itu. Ia memejamkan kedua mataku dengan tangannya, mencium bibirku, dan menidurkanku kembali di atas bantal sialan itu. Aku ingin menolaknya, dan berkata semalam tragis aku ditelan bantal sialan ini. Tetapi terlanjur aku tenggelam dalam birahi ini, dan kembali mati di alam mimpi.

 

Komentar