Kamu sangat
menyukai perjalanan dan menjelajah ke tempat jauh meninggalkanku sendiri di
sini. Segala keputusanmu diambil secara mendadak. Saat kau mengambil keputusan,
musim gugur, di bawah matahari yang redup ia bersedih sepanjang hari. Ketika
tangannya berada di kepalaku dan tanganku berada di pahanya. Kedua matanya
hijau menatap dalam dan bercampur pada kemuning cahaya di ujung warna langit.
Tak ada dialog sama sekali, seolah ia mendengar lantunan musikku dari kejauhan.
Dengan semampumu, kau kabari ia bahwa kau mencintainya. Ketika itu, aku
memutuskan untuk memanggilnya sekali, sayang ia segera pergi. Pikirannya raib
diselimuti kegelapan dan aku tak mengetahui apa yang terjadi padanya.
Perasaannya,
percakapannya, kondisi tubuhnya, terbentang di hadapanku seolah ruang hijau
menyebar dengan mudah dan banyak menyuruhku agar memanggilnya. Di ruang itu,
masuk ke dalam pikiranku pekerjaan asing yang mengikatku dan dengan segera ia
memutuskan untuk meninggalkanku dalam keputusan penjelajahannya. Tak terhitung
betapa takutnya diriku yang telah menyatu bersamanya. Aku takut sekaligus
membencinya namun aku tau dirinya adalah hidupku. Sepanjang hidup, aku terus
memanggilnya agar tidak hilang dalam hidupku. Kendati aku menyiksa diriku,
namun tak ada tempat berlari, hanya ada tempat berteduh sementara dalam
ingatanku yang abadi.
Hamparan pasir
itu terasa sangat lembut dan kami tanggalkan jejak telapak kaki di sana. Jejak
besar yang diselimuti kekhawatiran yang tertanam di atasnya dan terbawa oleh
pasir berisik, lantas ia duduk dan tersenyum di atas pijakannya. Lalu ia memanggilku agar ikut duduk. Wajahnya
jari-jemari yang melingkar pada kedua kakinya indah dan kusandarkan keduanya ke
punggungku.
Musim gugur di
tepian pasir yang membelai dahan ranting pohon panjang yang diselimuti
matahari. Ia berkata padaku bahwa ia merasa seperti berada di rumahnya. Dia
belum kembali asing. Aku menerima segala perilaku jemarinya pada tubuhku.
Kehidupan dan manusia menjadikan segala sesuatunya diterima begitu saja,
seperti tetumbuhan yang tertidur saat matahari terbit.
Tetapi sungguh,
ia harus pergi berkelana ke negeri jauh dan meninggalkanku di sini. Segalanya
terjadi begitu saja. Ia mengaku bahwa memang sedih saat hari menyebalkan itu
datang dan ia menangis di bawah matahari yang pucat: Aku harus berkelana dan
meningglakanmu, katanya.
Seolah
tangannya berada di atas kepalaku, dan kepalaku berada di pahanya, dan
menyisakan tubuhku terlentang di atas hamparan pasir. Kedua matanya yang hijau
lagi dalam seperti berjalan di dalam campuran garis kuning senja yang jauh.
Sama sekali ia tidak bicara, seolah ia mendengar nyanyianku dalam benaknya.
Dengan segala upaya, ia katakana padaku, bahwa aku mencintaimu. Sekali ia
memanggilku, setelah itu pergi. Dalam pikirannya yang gelap, mustahil aku
membaca apa yang terjadi padanya.
Saat itu, bel
pertanda kopi akan diantar berbunyi. Dua gelas kopi lengkap dengan air dingin
itu diantar, ini berat, kata pelayan itu. “Kocok dulu kopinya,” kataku. Ia
berhati-berhati dan tersenyum, dan aku senang melihatnya. Jam sudah mendekati
pukul 4. Sebuah pantai, pasirnya yang tenang
membentang, ombak mencapainya dengan malas, dan kemudian kembali meninggalkan
buih basah, keruh dan putih. Sebuah pantai, pasirnya yang tenang terbentang,
ombak mencapainya dengan malas, dan kemudian kembali meninggalkan kelembapan
mendung dan buih putih.
Tanganku membelai rambutnya dalam diam, ayo kita bangun, katanya. Kamu
berjalan di sampingku. Suara kota yang kami dekati mulai memisahkan kami,
semakin memisahkan kami masing-masing. Akankah dia kembali pada akhirnya,
mengingat keputusan untuk pergi?
Aku benci kesepian. Aku menolak untuk menangis seperti ini. Kenangan
menyakitkan. Banyak gambar yang berantakan seperti langkah kaki seorang pencuri
di rumah penduduk. Ingatan itu kuat dan hanya kesunyian yang mengelilinginya,
jadi biarkan jatuh, biarkan ingatan jatuh .... dan biarkan hidup.
Meja makan kecil yang terbuat dari kayu memisahkan kita dan menanamkan
pada tubuhku akan jarak kita yang semakin jauh… dan segala hal yang ingin
kutitipkan padanya, telah kutanam pada sumsumnya. Ia tersenyum, memanggilku
lalu pergi tinggi menembus awan, seolah matanya ingin mengatakan aku bahagia
mencintaimu. Menu makan yang kita makan telah matang, tiba-tiba seketika bersih
dan tercuci peraltannya oleh seorang anak kecil yang meninggalkan segelas minum
pada tangan mungilnya yang terbakar matahari.
Dari mulutnya mengalir cerita yang banyak. Di bawah kerinduan besar yang
ia pendam, seorang anak kecil menuntun kalimatnya menuju nyanyian larik yang
menyihirku dan menusuk aliran darahku. Kemudian ia terdiam dan meninggalkanku
di tengah oase ketenangan wujudnya. Aku melihat keteenangan dunia dari balik
wajah indah nan cantik itu. Hingga kita satu sama lain saling mendekat di balik
tembok kecil yang ada di hadapan kita.
Laut tampak begitu agung dan amat luas. Di ujung waktu dari jarak yang
begitu dekat.

Komentar
Posting Komentar