Saya mengenal istilah “Jurnalisme Sastrawi” pada tahun
2020. Karena saya belajar di lembaga pers, teman satu lingkaran waktu itu gemar
berdiskusi tentang istilah itu. Selama berusaha mendalami tentang apa itu Jurnalisme
Sastrawi, saya hanya mendapat kesimpulan genit. Sederhananya, Jurnalisme Sastrawi,
adalah reportase yang dilakukan oleh pewarta, dengan teknik naratif sebagaimana
cara narasi bekerja dalam sastra. Seperti misalnya, untuk menjelaskan kejadian kecelakaan,
dalam “Jurnalisme biasa”, ia hanya memuat keterangan 5 W + 1 H. Data yang
diperoleh, sebisa mungkin dijelaskan singkat, padat dan lugas.
Contoh:
What: Kecelakaan 4
mobil beruntun
Where: Tol
Jagorawi km.5
Who : 10 perempuan
dan 10 laki-laki
When : 13.15 Wib
Why : Mobil fuso yang
berada paling depan, berhenti mendadak dan banting stir akibat supirnya mabuk
How : Tubuh truk
menyilang di jalanan, kepala mobil menabrak pembatas jalan, 3 mobil yang
membuntutinya hancur bersamaan, karena memiliki kecepatan yang sama. (menurut
keterangan polisi)
Dalam bentuk paragraf
“Jurnalisme Biasa”, data di atas akan menjadi utuh dalam kalimat berikut:
Siang hari, pukul 13.15, Sebuah mobil fuso berhenti
mendadak dengan cara banting stir. Akibatnya, kepala mobil menabrak pembatas
jalan, sementara tubuh belakangnya menutup jalan Tol Jagorawi Km. 5. 3 mobil yang berada di belakang fuso, ikut menabrak
tubuh belakang fuso itu dan hancur bersamaan, karena kecepatan yang sama.
Berdasarkan keterangan polisi setempat, kejadian ini bermula karena supir fuso
tersebut mabuk. “Ya, ini karena supirnya mabuk, sehingga meneaskan 20 orang, 10
perempuan dan laki-laki” Demikian lapor Inspektur Kepolisian Daerah Bogor.
Ini paragraf
sederahana, biasanya paragraf ini dianggap cukup oleh redaktur. Namun jika paragraf
ini diubah dalam bentuk Sastrawi, demikian perubahannya:
Siang di Tol Jagorawi, sama seperti siang di Kota
Surabaya. Sengatan panas matari, membuat para pengendara habis mandi keringat
di tengah Jalan. Bukan hanya keringat, sebagian bermandi darah, dan mati. Hari
itu, seorang supir fuso kalap setelah menenggak dua botol bir di rest area,
menurut polisi, ia mabuk karena tunggakan hutang yang berujung pada ancaman
pembunuhan pada keluarganya. Ada banyak barang retail yang harus sampai ke
Bandung malam nanti, sementara saat istirahat, istrinya menghubungi agar ia
segera melunasi hutang keluarga. Debt kolektor tadi mampir ke rumah dan menodongkan
senapan. Dari hutang, dua botol bir, Jagorawi berubah menjadi ancaman
pengendara lain. Kecelakaan itu, turut menewaskan 3 mobil di belakangnya. (dan
seterusnya)
Selama saya mendalami Jurnalisme Sastra ala Indonesia
– meskipun saya mempelajari cara Gabriel Garcia Marquez juga – paragraf di atas
dianggap sah oleh redaktur. Selama si penulis tetap berada dalam kode etik
jurnalisme. Khususnya dalam konteks verifikasi fakta. Seperti kalimat pembuka simile
di atas, “Siang di Tol Jagorawi, sama seperti Siang di Kota Surabaya” ini
dianggap sah, jika pada tanggal dan jam kejadian, dalam catatan BMKG validated.
Contoh dua paragraf di atas, tentu saja jauh berbeda.
Tetapi apakah contoh paragraf kedua, dengan pasti saya mampu menganggapnya
sebagai “Jurnalisme Sastrawi”. Jika
hanya jika, saya menganggapnya “Jurnalisme Sastrawi” apakah secara beriringan liputan
itu mendapat predikat kualitas liputan yang “menjernihkan publik”. Tentu saya
beranggapan seperti anda, setidaknya sejauh ini, Dora Marsden. Hanya saja iklim
kebudayaan literer, baik sastra atau jurnalisme, saya rasa di Indonesia masih
terlalu genit. Mempelajari “Jurnalisme Sastrawi”, sama artinya dengan
bermadzhab kepada Andreas Harsono. Setidaknya, nama pegiat jurnalis itu akan
selalu muncul dalam kalangan Jurnalis, oh, jurnalisme sastrawii ya, oh ya Andreas
Harsono. Persoalannya bukan saya mengkritik Andreas Harsono, atau Jurnalisme
Sastrawi ala dirinya. Yang saya pertanyakan adalah, otoritas tulisan? Barangkali.
Sehingga yang terjadi adalah kemandekan dan kejumudan komunikasi publik yang
semakin bersifat “sloganistik”. Ini akan menjadi menarik, ketika kita melihat,
bagaimana kemunculan Jurnalisme di Indonesia lahir melalui tangan kreatif Marco
atau Tirto Adisuryo, yang lantas, sejauh saya pahami itu dikembangkan lebih
baik di tangan Pram – terlepas dengan kritik yang terselip dari karyanya,
apakah itu Sastra atau Jurnalisme, dan, saya menganggap itu barangkali
Jurnalisme Sastrawi, jauh sebelum kegenitan istilah itu tak henti-hentinya
memenuhi ruang diskusi Pers Mahasiswa. Contoh menarik misalnya ada dalam buku,
Perempuan Remaja dalam Cengkraman Militer Pram.
Ini pendahuluan
saya, untuk mendiskusikan topik ini lebih lanjut kepada pembaca. Sebagai
pembuka perdebatan, tentang apa itu Jurnalisme dan apa itu Sastra menurut Dora
Marsden.
Antara
Jurnalisme Dan Sastra
Saya paparkan
secara letterlek agar gagasan ini mampu dilihat secara kontekstual seperti cara
Dora Marsden memandang ini
Jurnalisme adalah
persuasi yang berkepentingan, melalui bentuk-bentuk sastra, kepada masyarakat
umum untuk mendukung atau melarang tujuan-tujuan yang dianggap baik oleh mereka
yang terdorong oleh upaya persuasif tersebut. Mereka yang membuat
sketsa rencana yang harus diikuti oleh "persuasi" mungkin melibatkan
dan membayar "jurnalis" yang lebih mampu memanipulasi formulir: atau
mereka mungkin memiliki sarana dan bakat untuk melaksanakan sendiri rencana
verbal mereka. Ciri yang membuat jurnalisme menjadi jurnalisme
adalah—bukan karena jurnalisme itu diperjualbelikan—tetapi karena jurnalisme
merupakan tambahan dari tujuan-tujuan yang melampaui dirinya
sendiri. Semua jurnalisme itu "tertarik": mengabdi pada
kepentingan dan tujuan; tentang kebutuhan hari-hari yang berlalu dan
suasana hati orang yang berubah. Ia mengeksploitasi bentuk sastra
untuk memajukan usaha tertentu. Ini bukan sastra meskipun ia
mengeksploitasi sastra: bukan filsafat meskipun ia
mengeksploitasinya. Bahwa materi yang membentuk dirinya sendiri dan dalam
penggunaannya yang mahir digunakan oleh para manipulator adalah bahasa yang
membawa jurnalisme sedekat mungkin dengan sastra seperti halnya kemampuan
mencampurkan cat yang membawa pelukis rumah kepada sang seniman; keduanya
merupakan perajin yang memiliki reputasi baik, namun berbeda: keduanya
membutuhkan kemampuan tertentu: keduanya memiliki kegunaan yang sudah
diketahui—setidaknya yang dimiliki oleh tukang cat rumah: dan keduanya bekerja
di bidang cat. Perbedaan antara kedua pengeksploitasi cat ini mungkin
dapat ditunjukkan dengan baik melalui perbedaan sikap mereka terhadap
kelanggengan karya mereka. Pelukis rumah akan merasa sangat tertekan jika
ia mengira dampaknya akan bertahan selamanya, atau bahkan seumur
hidup; sementara sang seniman akan mempelajarinya seumur hidup untuk
memberikan sedikit tambahan daya tahan pada catnya. Tukang cat rumah
memeriksa isi pot catnya untuk memberinya pekerjaan. Dia tidak memiliki
apa pun yang dia hargai untuk dimasukkan ke dalam lukisannya; dia
menyebarkan cat di bawah arahan seseorang yang menginginkan permukaannya
tertutupi olehnya. Sang seniman, melalui karya lukisnya, berusaha
merancang sebuah jaring yang akan selamanya menjerat beberapa fakta perasaan
yang, paling tidak, menurutnya layak untuk diingat. Perbedaannya adalah
bahwa yang satu menggunakan suatu bentuk sebagai alat untuk mengabadikan
sesuatu yang menurutnya berharga: yang lain mengekspresikan apa yang dapat ia
ungkapkan dengan mengembangkan bentuk itu sendiri. Begitu pula dengan
sastra: sastra adalah vas transparan yang di dalamnya tersimpan ciri-ciri
permanen Pikiran Manusia. Keinginan untuk mendapatkan kelanggengan
pekerjaan mereka tidak peduli betapa kelirunya mereka dalam cara yang mereka
ambil untuk mencapai pekerjaan tersebut, merupakan ciri penting para
penulis sastra. Milton, misalnya, dengan sengaja memilih tema teologis
sebagai latar kuota pengamatannya tentang Manusia kepada manusia, karena ia
menganggap tema tersebut menjanjikan daya tahan minat yang kuat. Mungkin
pilihan inilah yang membuat buku-buku "Paradise Lost" dan
"Paradise Regained" tidak dikenal, kecuali bagian-bagiannya berisi
wahyu manusia yang kuat. Ini hanya membuktikan betapa sulitnya menyamarkan
fustian, dan bahwa "keyakinan" serta observasi langsung manusia tidak
bisa. datang pada tingkat daya tahan yang sama. Perbedaan antara
jurnalisme dan sastra pernah diakui secara jujur: sastra adalah—dalam hal
bentuk—yang paling mendukung keabadian dan sebagai substansi dari semakin
banyaknya motif manusia yang belum terurai; jurnalisme merupakan sebuah
bentuk tambahan, salah satu dari sekian banyak jurnalisme yang digunakan untuk
membantu, mungkin saja, sebuah tujuan sementara dan mengambil karakternya dari
tujuan yang dilayaninya; Setelah perbedaan ini diakui secara terbuka, penghinaan
yang tidak semestinya yang diterima oleh jurnalisme menjadi tidak ada artinya
seperti penghinaan terhadap pengecatan rumah, sementara hal ini memungkinkan
adanya perhatian yang lebih besar dalam menumbuhkan ketunggalan dalam
sastra. Jurnalisme telah menerima dan mendapat hinaan hanya karena
jurnalisme berpura-pura terinspirasi oleh tujuan yang mengilhami sastra, dan
dengan demikian telah menghasilkan penilaian berdasarkan standar yang
dimaksudkan untuk karya yang ingin dinilai sebagai sastra. Dinilai berdasarkan
standar seperti itu, jurnalisme atau jurnalis tidak mungkin lolos dari
kutukan. Tak pelak lagi, jurnalis yang hanya melakukan dengan jujur apa
yang menjadi tugasnya akan dianggap sebagai seorang yang kejam; sedangkankomisi
pelayaranyang menjual Pil, Piano, Barang Jelek, Barang Kaleng kepada publik
pilihannya, apa lagi, saya adalah orang yang terhormat. Pemilik surat
kabar dianggap sebagai perusak yang licik terhadap "Kebenaran":
seorang bawahan dari para penjahat yang merugikan "Kebaikan Semua"—kontroversi
penguntit yang universal—dibandingkan sebaliknya dengan produsen, pembuat
daging- pedagang dan sejenisnya, yang dianggap sebagai tulang punggung
masyarakat dan perwujudan tradisi bebasnya. Namun masing-masing pihak
bertekad untuk meningkatkan "pengaruhnya", satu di pasar yang satu
dan yang lain di pasar yang lain: medium yang digunakan jurnalis untuk menjadi
lebih paten dan jelas jika caranya lebih halus. Bagaimana cara seseorang
di antara Anda yang berbisnis dan mendapati bahwa ambisinya—salah satu dari
jutaan tujuan yang menjadi tujuan manusia menetapkan ambisinya—didorong oleh
Opini Publik yang baik tidak akan berhasil memengaruhi Opini tersebut
sepenuhnya? bisa? Pembuat barang mana yang mengirimkan agennya untuk
mempengaruhi pasar atau perusahaan promotor yang gagal menerbitkan prospektus
yang menarik? Pembedaan yang tidak ada ini berasal dari kebingungan antara
jurnalisme dengan sastra, dan apa yang dikatakan jurnalis dengan sesuatu yang
disebut "Kebenaran".
Perkembangan kontroversi
sebagai instrumen serangan dan pertahanan adalah pencapaian pikiran manusia
yang paling kompleks dan paling menarik, dan studi kompleks yang menjadi sumber
air terpendam serta cara-cara dan metode-metodenya yang licik merupakan bidang
filsuf. Penelusuran terhadap motif-motif itulah yang membuat kontroversi
yang tak terhitung jumlahnya terus berlanjut: bahasa tujuan—jurnalisme—yang
menjadikan filsafat sebagai kepentingan manusia yang paling menarik dan juga
paling penting, mengingat selera dan semangatnya. Namun minat ini tidak
banyak terlihat. Mungkin karena permintaan terhadap produknya sedikit. Hal
ini tidak populer: terdapat terlalu banyak jurnalisme dan terlalu banyak
kepentingan yang tidak disukai sehingga penggalian terhadap hal-hal lain selain
motif manusia yang lebih anggun dapat diterima. Separuh lainnya—ketika
muncul—diterima bukan sebagai Filsafat melainkan sebagai Diabolisme: hal-hal
yang seharusnya tidak pernah diungkapkan. Selain ketidakpopulerannya,
motif manusia menjadikan bahan-bahan yang mengganggu untuk digunakan, dan
sebagian besar calon filsuf—yang ingin menjadi filsuf sejati—menjadi korban
dari bahan-bahan mereka sendiri. Ketika hendak mempelajari kaum
"kontroversialis", mereka terjebak dalam kontroversi ini dan
itu. Arus utama kepentingan mereka tertelan dalam peperangan lokal dan
hanya sedikit yang tersisa untuk mempelajari Manusia sebagai hewan yang
kontroversial. Penjelajah merasa lebih menguntungkan dan bahkan lebih
menghibur untuk melakukan promosi perusahaan daripada terus mencari harta
karun. Hal ini lebih menguntungkan, dan dunia diciptakan sedemikian rupa
sehingga manusia harus berhubungan dengan keuntungan di suatu tempat: dan
karena penjelajah pada dasarnya hanya sedikit dan hasil eksplorasi hampir
nihil, tidak mengherankan jika para peneliti "manusia" ini semuanya
menjadi propagandis: menjadi jurnalis: mengatur pidato sesuai tujuan yang telah
ditentukan: dan menabuh genderang besar. Karena dari dua tujuan
pidato—pidato sebagai instrumen Wahyu dan instrumen Rayuan—jurnalisme dalam
tujuan utamanya hanya mengenal satu tujuan. Jurnalisme selalu persuasif
dan menggoda. Meskipun secara dangkal jurnal tersebut kadang-kadang tampak
mengatur dirinya sendiri untuk "mengungkapkan" ketika memberikan
"Berita": akan selalu ditemukan bahwa "Berita" telah
diberikan "putaran" yang paling sesuai dengan kepentingan utama
jurnal. "Berita" yang terlalu sulit untuk segera diubah tidak
lagi menjadi "Berita"—dan tidak perlu lagi dicatat. Jurnalisme
memang merupakan seni terampil memanipulasi penekanan. Wartawan berusaha
untuk menjamin kelekatan masyarakat, dan karena masyarakat menerima apa yang
ditegaskan secara empatik dan menyukai Penegasan Kuat serta pembuatnya, maka
pengaturan penekanan menjadi urusan utamanya, dan dia belajar bagaimana
membiarkannya. jatuh tepat di tempat yang paling sesuai dengan kepentingan
mereka yang mempekerjakannya. Jika ia dapat menonjolkan dirinya sebagai
orang yang mempunyai penekanan yang cukup kuat, maka ia akan memenangkan
kepentingan rakyat bukan hanya demi kepentingan yang ia kembangkan, melainkan
juga untuk dirinya sendiri. Popularitas serta keuntungan dan kegembiraan
yang muncul dari konflik ada di pihak jurnalisme: tidak aneh jika jurnalis
tidak bisa dicari di cabang "sastra" mana pun. Wartawan berusaha
untuk menjamin kelekatan masyarakat, dan karena masyarakat menerima apa yang
ditegaskan secara empatik dan menyukai Penegasan Kuat serta pembuatnya, maka
pengaturan penekanan menjadi urusan utamanya, dan dia belajar bagaimana
membiarkannya. jatuh tepat di tempat yang paling sesuai dengan kepentingan
orang-orang yang mempekerjakannya. Jika ia dapat menonjolkan dirinya
sebagai orang yang mempunyai penekanan yang cukup kuat, maka ia akan
memenangkan kepentingan rakyat bukan hanya demi kepentingan yang ia kembangkan,
melainkan juga untuk dirinya sendiri. Popularitas serta keuntungan dan
kegembiraan yang muncul dari konflik ada di pihak jurnalisme: tidak aneh jika
jurnalis tidak bisa dicari di cabang "sastra" mana pun. Wartawan
berusaha untuk menjamin kelekatan masyarakat, dan karena masyarakat menerima
apa yang ditegaskan secara empatik dan menyukai Penegasan Kuat serta pembuatnya,
maka pengaturan penekanan menjadi urusan utamanya, dan dia belajar bagaimana
membiarkannya. jatuh tepat di tempat yang paling sesuai dengan kepentingan
mereka yang mempekerjakannya. Jika ia dapat menonjolkan dirinya sebagai
orang yang mempunyai penekanan yang cukup kuat, maka ia akan memenangkan
kepentingan rakyat bukan hanya demi kepentingan yang ia kembangkan, melainkan
juga untuk dirinya sendiri
Oleh karena itu, sangat
jelas bahwa jurnalis tidak menganggap sastra “lebih tinggi” dan “lebih baik”
daripada jurnalisme sehingga mereka mengabaikan garis pemisah di antara
keduanya. Hal ini sama halnya dengan jutawan yang memperoleh keuntungan
besar dari suatu penemuan ilmiah yang berpikir bahwa ilmuwan yang bermain-main
di bangku dengan tabung reaksi bukanlah orang yang sederhana dan mungkin agak
konyol. Faktanya, mayoritas orang akan setuju bahwa sebagian besar karya sastra
tidak mempunyai reputasi baik dan sebagian besar bersifat keji. Sekali
seorang jurnalis sepenuhnya, tetaplah seorang jurnalis: bahkan ketika orang
tersebut yakin bahwa dirinyalah yang menulis karya sastra. Buktinya kita
hanya perlu mengamati drama “propagandis”: novel “propagandis”, “filsafat”
propagandis, dan puisi “reporter”. "Propaganda" dalam hal
keahlian hanyalah "jurnalistik". Parson sedang meraih
"moral" dari khotbahnya dalam bidang Filsafat, dan "Reformator
Sosial" sedang menerapkan ornamen pada pidatonya dalam Drama dan apa yang
tidak: traktat-traktat itu, semuanya. Lalu mengapa pemusnahan ini semakin
meningkat? Ini hanyalah sebuah trik perdagangan: sebuah trik
"kepercayaan diri". Meminta dukungan dari orang lain demi
keuntungan diri sendiri bukanlah tugas yang mudah: hal ini justru merugikan
seseorang. Terlebih lagi, hal ini menghilangkan sanjungan yang menghibur
bahwa perjuangan seseorang semata-mata demi kepentingan mereka; itu
mempercepat kecurigaan mereka dan membangkitkan kecerdasan mereka. Oleh
karena itu ada upaya untuk mengidentifikasi jurnalisme dengan sastra yang
memungkinkan jurnalis untuk berperan sebagai penyebar “Kebenaran yang Tidak
Memihak”. yang tajam dan waspada untuk membedakan cara-cara dan kata-kata
yang merupakan ekspresi dirinya yang tidak disengaja dan yang hanya merupakan
perisai untuk menutupi dan membela diri, dan yang juga tidak ada hubungannya
dengan keinginan untuk menjebaknya dan mengambil keuntungan. Buah dari
keingintahuan itulah yang secara kasar diterima sebagai “Kebenaran” dan bentuk
yang melestarikannya adalah sastra—sastra yang baik atau lemah tergantung pada
kekuatan keingintahuan yang mengilhaminya, ketekunan dan waktu yang dicurahkan
untuknya, serta kegigihannya. dari pemangkasan bentuknya agar terlihat transparan. Tampaknya:
bentuk spesifik apa yang diberikan oleh seorang filsuf, bergantung pada
besarnya gairah yang ada dalam keingintahuannya. Jika ia cukup peduli, ia
akan memberikan bentuk yang paling transparan dan ekonomis serta paling permanen: yaitu
Puisi. Jika ia cukup yakin dengan karakter “bahan mentah” yang telah
dianalisisnya, ia akan mengambil risiko melemparkannya kembali ke dalam
sintesis dan menciptakan kembali manusia: seperti dalam Drama. Jika dia
terlalu sibuk, atau terlalu ceroboh, atau mempunyai begitu banyak bahan di
tangannya sehingga dia lebih memilih untuk mengeluarkan semuanya dengan
mengorbankan membiarkannya "dalam kesulitan", maka itu akan tetap
menjadi Prosa Filsafat. Namun apa pun bentuk akhirnya yang diambil oleh
sastra, hakikatnya adalah Filsafat: keingintahuan tentang sifat manusia:
pengungkapan sumber-sumber pikiran manusia. Hal ini menjelaskan mengapa
segala kegelisahan yang besar terhadap Formulir—khususnya di kalangan penulis
muda—tampaknya selalu disertai dengan kecurigaan. Bentuk—bahkan dalam
kesempurnaannya—bukanlah sesuatu yang asing bagi substansinya. Ia tumbuh,
muncul dari dan merupakan indeks kualitas zat itu sendiri. Mengingat yang
satu dalam kadar yang cukup dan yang lainnya pasti akan menyusul. Orang
yang paling pemalas akan memaksakan diri ketika dia mengetahui dengan pasti
bahwa dia sedang bekerja untuk menggali harta karun yang tersembunyi, dan orang
yang mempunyai sesuatu yang penting untuk dikatakan akan bersusah payah untuk
mengatakannya.
Oleh karena itu
karena bonafidsastra lebih dapat diterima dan bukan karena misi
sastra dianggap "lebih baik" atau kualitasnya "lebih
tinggi", sehingga jurnalisme berusaha mengidentifikasi dirinya dengan misi
tersebut. Dan alasan yang samalah yang menjelaskan konvensi tak terucapkan
yang diyakini oleh semua penganut kontroversi, bahwa satu faktor dalam
kontroversi yang memberikan karakter dan maknanya—bias pribadi para penganut
kontroversial—harus diabaikan. Karena mengakui hal ini akan menghilangkan
peran pihak-pihak yang marah dan benar dan menghancurkan asumsi bahwa
jurnalisme pada dasarnya "tidak memihak". Dari situlah pekikan
masing-masing terhadap saingannya, "Tertarik", "Venal",
membawa kesimpulan — sejauh ini cukup benar, karena masing-masing pihak
mewakili "Infeksi" dari "Penderita Kusta" dan "Titik
Wabah" akan kehilangan relevansi dan penekanannya. Mengakui bahwa
semua pihak “berkepentingan”: bahwa jurnalisme hanyalah bahasa “kepentingan”,
sama saja dengan mengempiskan balon jurnalistik dan menggagalkan tujuan
diciptakannya jurnalisme: untuk meyakinkan publik bahwa hal tersebut hanya dilakukan
dalam semangat kepentingan. ketidaktertarikan yang sempurna dan demi
kepentingan "Kebaikan Umum" begitu banyak pelayanan yang
bertele-tele. Dan bukan hanya sebagai kuda penguntit, sastra juga
memanfaatkan jurnalisme. Sejauh ia mengenalnya, sang jurnalis memanfaatkan
pengetahuan yang didanai “tentang sifat manusia yang disediakan oleh sastra dan
menggunakannya sejauh hal itu sesuai dengan kepentingan
propagandanya. Semua pengetahuannya tentang seluruh dunia dia gunakan
untuk mencapai tujuannya. Seseorang masukSang Egois pada suatu
hari menyatakan bahwa perjuangan besar: peperangan yang tiada henti yang pernah
terjadi adalah perjuangan yang dilakukan oleh Individu melawan Banyak Orang:
Yang Satu melawan Keseluruhan. Jurnalis yang terampil dapat mengajar dan
mendemonstrasikan bagaimana Kelompok Banyak menyediakan tempat mencari makan
bagi Yang Esa. Bagaikan taman bagi Lebah, Yang Banyak adalah bagi Yang
Esa: sumber rezekinya yang utama, sejauh ia mampu menyedot makanan dan bukannya
racun. Kemampuan mana yang dimiliki Yang Esa bergantung pada
pengetahuannya. Karena kurangnya pengetahuan dan mencari informasi
jauh-jauh, ia mungkin menganggap The Many berbahaya: hal inilah yang terjadi
pada para jurnalis—dan pemiliknya—yang setelah lama memutus sumber-sumber literatur,
mendapati diri mereka sangat membutuhkan literatur tersebut.
Dalam bagian yang
dikutip, pernyataan "Ini tidak ada hubungannya dengan dunia mana yang
lebih baik: yang penting hanyalah masalah mana yang menjadi lebih nyata. Anda
mungkin menyukai janda atau Anda mungkin lebih memilih setan," yang
menjelaskan metode tersebut. jurnalisme. Kurangnya kemarahan heroik yang
dialami seorang jurnalis, dan sedikit lebih banyak ketertarikan dan hiburan
pada dirinya sendiri seperti yang ditunjukkan Mr. Chesterton di tempat lain,
akan membuatnya jelas bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan makna
artikelnya setidaknya ada hubungannya dengan itu. , bergantung pada "mana
yang Anda sukai"; dan dia sendiri mengakui hal yang sama ketika,
karena harus mendapatkan kembali posisinya, dia menunjukkan di bagian bawah
halaman bahwa meskipun kita "melihat keduanya", kita tidak dapat
"meyakini keduanya". Pada awalnya dalam membingkai
artikel, satu-satunya alasan yang menyebabkan dia terpaku pada perumpamaan
"Adegan Transformasi"—yang paling cerdik—adalah untuk membantunya
membagi dunia menjadi dua bagian: Goblin yang dia sukai—semua temannya
sendiri; dan para janda yang tidak dapat dipatuhinya: mereka yang
cenderung tidak disukainya dan teman-temannya. Prasangkanya menguntungkan
atau tidak menguntungkan dari arsitektur dunianya: satu-satunya konsepsinya
tentang apa yang "nyata". Dia berkata, "Beberapa dari kita,
dia (Tuan Belloc), tertarik pada segala sesuatu sebagaimana
adanya." Benar sekali! Yang dia maksud adalah "hal-hal yang
dia inginkan". Adegan Mendatangnya—dunia nyatanya, dunia
"sebenarnya", dunia pertarungan dan dunia kanan—semuanya adalah
teman-teman pribadinya, yaitu orang-orang dari dunia nyata. para Goblin
yang dia sukai—semua temannya sendiri; dan para janda yang tidak dapat
dipatuhinya: mereka yang cenderung tidak disukainya dan teman-temannya. Prasangkanya
menguntungkan atau tidak menguntungkan dari arsitektur dunianya: satu-satunya
konsepsinya tentang apa yang "nyata". Dia berkata,
"Beberapa dari kita, dia (Tuan Belloc), tertarik pada segala sesuatu sebagaimana
adanya." Benar sekali! Yang dia maksud adalah "hal-hal yang
dia inginkan". Adegan Mendatangnya—dunia nyatanya, dunia
"sebenarnya", dunia pertarungan dan dunia kanan—semuanya adalah
teman-teman pribadinya, yaitu orang-orang dari dunia nyata. para Goblin
yang dia sukai—semua temannya sendiri; dan para janda yang tidak dapat
dipatuhinya: mereka yang cenderung tidak disukainya dan
teman-temannya. Prasangkanya menguntungkan atau tidak menguntungkan dari
arsitektur dunianya: satu-satunya konsepsinya tentang apa yang "nyata". Dia
berkata, "Beberapa dari kita, dia (Tuan Belloc), tertarik pada segala
sesuatu sebagaimana adanya." Benar sekali! Yang dia maksud
adalah "hal-hal yang dia inginkan". Adegan Mendatangnya—dunia
nyatanya, dunia "sebenarnya", dunia pertarungan dan dunia kanan—semuanya
adalah teman-teman pribadinya, yaitu orang-orang dari dunia nyata.Saksi Baru , Zaman
Baru , Negarawan Baru bahkan: "genap" karena ini
mempertahankan iman berdosa yang berusaha untuk meresmikan Negara Budak yang
sangat menjengkelkannya, tetapi yang "bahkan" harus dimasukkan karena
tidak mungkin untuk mengecualikan Teman Shaw . Mereka yang dia cintai
tidak dia tinggalkan tanpa dunia untuk ditinggali. “Saya tidak bisa berdebat
dengan Mailpenulis karena saya tidak percaya akan keberadaan dunia
yang dia tinggali." "Tidak percaya" = tidak suka. "Tidak
bisa berdebat" = tidak mau berdebat. Tidak ada yang mengira dia tidak
bisa—kalau dia mencoba—dengan kebaikan dan kesabaran keibuan, untuk menjelaskan
kepada penulis malang yang tidak punya dunia untuk ditinggali mengapa dunia
yang "ada" bagi Tuan Belloc "ada", sedangkan dunia yang ada
bagi Lord Northcliffe hanya —"tidak" ! Tapi Tuan Chesterton memang
sangat kesal, dan dia tidak akan melakukannya. Untuk saat ini, dia begitu
bertekad untuk memperjuangkan "manusia yang bertanggung jawab yang bekerja
untuk 'Kebenaran'" yang dia lebih suka kehilangan seluruh komunitas
intelijennya dengan makhluk yang sama "yang bekerja untuk Trust." Dia
bahkan tidak akan berpikir bahwa mungkin keduanya bekerja untuk diri mereka
sendiri. Sampai akhir, dia tetap berpegang pada dunia yang berbeda dari Adegan
Transformasinya, meskipun itu mungkin merupakan tanda kembalinya luasnya minat
manusia yang menyebabkan dia untuk campurkan metaforanya. "Kerangka itu
mulai bersinar melalui lemari, dan apa yang tadinya rumah manusia terbuka ke
dalam, ke dalam rumah setan." Baiklah! itu membuat orang berpikir tentang
keinginan pembuat sepatu untuk tetap bertahan pada yang terakhir Tuan
Chesterton tidak mempunyai kelicikan dan kedengkian: mungkin tidak memiliki
"kekerasan" yang diperlukan untuk mewujudkan hal-hal semacam itu ke
dalam bentuk yang akan benar-benar efektif bagi dirinya sendiri atau
benar-benar merugikan pihak lawan. Tuan. Belloc bisa memanipulasinya jauh lebih
baik. Dia hanya meninggalkan pengabdiannya pada "Kebenaran" untuk
memberikan prestisenya pada kegunaan-kegunaan yang meragukan, yang akan
menurunkannya sama seperti prestise ilmu pengetahuan akan diturunkan oleh
seorang ilmuwan bereputasi yang meminjamkan prestisenya untuk meningkatkan nasib
suatu usaha komersial yang meragukan.
Jurnalisme, Destruksi dan
Kreasi
Melalui Dora Mardsen,
setidaknya ada dua pilihan, jika anda berada dalam dunia jurnalis: Menjadi
politis dan kreatif, atau jumud pada tegaknya status quo Perusahaan media.
Politis bukan hanya sekedar, bagaimana cara anda “membuat yang ilusif menjadi
nyata”, melainkan juga mendekontruksi pemahaman dasar anda tentang politik.
Atau anda hanya sekedar mengikuti kebutuhan “pekerjaisme (?)” ala seorang penulis
menerjamahkan retorika kekuasaan. Politis adalah dasar, bagaimana menghancurkan
tatanan, melihat puing, dan mengontruksinya sebagai peristiwa. Menjadi
peristiwa, artinya menjadikannya nyata dalam ruang publik. Ini bukan soal, saya
kiri atau kanan, tapi demikian seharusnya proses kerja manusia sebagai Jurnalis
membentuk dunianya.
Saya kira cukup, melalui
Dora, kita memahami bahwa Jurnalis mendorong Filsafat terus berada dalam
pusaran konflik, sebagai dasar dari kehidupan manusia (dialektis), dan Sastra
sebagai dorongan imajiner tentang tragedi, cinta, dan harapan manusia sebagai
hasratu untuk kehidupan. Bahkan dalam muatan kematian, saya kira selalu ada
kekuatan dorongan hidup yang besar. Jurnalisme Sastrawi, karenanya saya kira
bukan hanya sekedar “slogan”, apalagi saling mengagungkan, ini nyastra dan
ini gak nyastra . Jurnalisme Sastrawi, atau sekedar Jurnalisme ada di
wilayah kemampuan seorang Jurnalis menyusun perjalanan kehidupan manusia.
Apa yang tampak, pada akhirnya dalam catatan reportase
adalah ruang kreasi informasi. Yaps, informasi yang penuh olaahan resep kepada
fakta dengan ragam potret, bukan hanya sekedar, ya bukan hanya sekedar omong
kosong debat dan menguntit, ini Jurnalisme Sastrawi dan ini tidak. Bahkan jika
kesimpulan akhirnya, “Jurnalisme Publik”, seharusnya Jurnalisme juga mampu
membuka cakrawala yang luas tentang apa itu publik? Apa itu ruang?.

Komentar
Posting Komentar