“Dulu aku pernah ke Moskow, tahu Moskow? Ibu Kota
Rusia, wah sekarang udah jarang ada orang yang ke sana”. Jalanan macet seperti
biasa, seperti kehidupanku yang biasa saja. Meskipun aku pernah bertengkar
dengan istriku yang baru hamil lagi. Ia menuntun diriku agar terus bekerja,
karena setiap hari, ada keluarga yang mencaci suaminya, iya, diriku ini. Tetapi
benarkah hidup harus dibuat luar biasa? Padahal aku yakin, hari ini orang luar
biasa hanya orang aneh yang bersembunyi di balik cerita-cerita murahan iklan
jalanan. Aku pernah, suatu kali mengingat cerita dari temanku. Gurunya kyai
terkenal di kota ini. Konon ketulusannya melebihi segala nabi yang pernah hidup
di muka bumi, oleh karena itu, banyak orang yang meminta nasehat, berkat,
sampai air kencingnya diyakini bisa menjadi pelet Perempuan. Oh ya, satu lagi,
Kyai ini juga termasuk kolektor surga di Kota ini, dalam bekerja, biasanya ia
memiliki Karyawan, seperti Takmir Masjid, misalnya. Projek Pembangunan masjid,
akan jadi garapan utama profesi mereka. Pernah suatu waktu, Masjid di pinggir
jalan bekas pelacuran habis digusur pemerintah kota, katanya ini noda kota,
karena di setiap rol-rol jejeran bangunannya penuh dosa. Harus disucikan.
Setelahnya lelang dibuka, setiap orang boleh menyumbang investasi untuk
Pembangunan, setiap tingkatan satu juta, semakin besar luasan wilayah Surga
yang akan ia terima.
Tidak ada yang luar biasa bagiku. Jika semua orang
luar Biasa, begitupula lelaki di hadapanku ini. Pria 40 tahun, rambut menjuntai
ke Pundak, dan gerakan lincah seperti kuda pacuan. Tubuhnya kekar, karena
katanya ia pernah jadi kuda hitam dalam pertandingan besar tarung jalanan di
Jakarta. Kepincut bela diri silat, akhirnya lanjut mendalami Matrial Art.
Harusnya aku masuk Rekor Muri, katanya, suatu malam saat membagikan sepiring
ayam suir untukku. Aku percaya, ia pria jujur, maksudnya, caranya bertutur,
gerak tubuhnya saat berlari, dan caranya memandang manusia lain, seperti
tingkah laku seorang ksatria. Harusnya ia masuk rekor muri, karena ia atlert
bela diri serba bisa.
20 tahun yang lalu, aku masih berusia 17 Tahun. Putus
sekolah di jenjang kelas 2 SMA, karena ibu jatuh sakit.
“Jangan pedulikan Ibu, lanjutkan saja sekolahmu, 2
bulan lagi juga ibumu Mati, sementara kamu harus lanjut hidup”
“Karena tahun ini, tahun kematianmu, bu, tolong
izinkan aku menemani hari terakhirmu di mranjang ini, setidaknya aku bisa
membantu juka bapak mungkin kembali”
“Sudahlah lanjutkan sekolahmu”
Dua bulan kemudia ibu mati. Di atas ranjang upin-ipin
hasil pemberian suami, ibu mandi darah. Dari hidungnya mengalir hampir dua
liter air yang guyur. Di kamar itu, jika ada tetangga yang mengunjungi,
barangkali sulit membedakan itu sprei Upin-Ipin atau Bayi Bajang, karena
sepenuhnya wajah dua anak kecil botak itu berwarna merah. Demikian cerita
awalku akhirnya memutuskan perjalanan sebagai pendekar – sebelum menginjak
Moskow.
Aku tumbuh besar di Kota Malang. Orang mengenalnya
sebagai Singo Edan. Singa yang gila, sama gilanya dengan lakon kesayanganku,
Barry Prima, si Jaka Sembung petarung jalanan dengan golok di selempang. Dari
Barry Primalah aku menclok di perguruan silat, dahulu silat berkembang di
Malang melalui para pendekar pejuang bangsa ini, setelah sebelumnya bangsa ini
memutuskan bernegara. Kota Malang, kota transit Blambangan dan Mataraman, dan
Eropa-nya Indonesia, hari ini menjadi salah satu kota suaka Pendidikan
terbesar. Kupikir, tidak ada salahnya menjadi pendekar seperti Barry Prima,
setidaknya bila piagam tidak kuperoleh, aku bisa membela kaum kecil jalanan,
atau sekedar menjaga pacarku kelak dari ancaman kekerasan di luar. Hikam, si
pendekar Kota Malang, jancuk, kweren nemen, rek.
Sudarsono Guru Perguruan silat Tapak Naga.
Perguruannya turun temurun sejak tahun 1876, konon perguruan itu berdiri hasil
kerja sama, antara pendekar Tionghoa yang mendarat di Pelabuhan Pasuruan dan
terasing akibat dianggap bandit oleh Belanda. Di tempat ini, ia membangun
basis. Orang-orang pribumi hidup di bantaran Sungai, sementara moyang Sudarsono
hidup di pusat Kota. Blimbing, tempat kereta tebu hilir-mudik di sekitarnya.
Lepas mendirikan rumah, dan menawarkan ilmu beladiri, ia menikah dengan
Suminah. Semenjak itu, tujuh turunannya berubah Ampyang – istilah sebutan untuk
peranakan Tionghoa – Jawa (kelas menengah bawah). Hanya butuh satu tahun,
padepokan Perguruan Silat Tapak Naga mencapai puluhan murid. Keturunan
ketujuhnya, inilah aku, Karsan! bukan keturunan sedarah, tetapi berguru kepada
Sudarsono. Anak moyang seorang Ampyang pelarian, yang muridnya dahulu dikenal
sebagai Bandit Tujuh Malam.
Bandit Tujuh Malam, anak didik dari Moyang Sudarsini
jadi cemeti terbang setiap malam datang di hari ketujuh. Biasanya para kumpeni,
waspada menjaga Gudang Gula dan Gulag. Pekerjaan Bandit Tujuh Malam: Melepas
tahanan politik pribumi, dan merampok persediaan gula untuk dijual di pasaran
melalui jejaringnya. Bukan jarang sekali, bila kumpeni ini menyewa perguruan
silat lain untuk menumpas Sudarsono, pernah suatu waktu, seorang serdadu
Belanda, mantan mariner bawaan Daendels kepalanya putus dan tergantung di depan
Pabrik Gula Kepanjen. Kata orang-orang, itu sebagai bentuk ancaman, karena ini
Negeri bukan milik Kumpeni. Kumpeni harus menghormati prbumi.
Apakah aku akan menjadi penerus legenda kisah itu?
Barangkali iya, atau tidak, karena hidupku belum berakhir, lagipula mustahil
aku bisa menjadi mitologi sohor di dunia silat, kau liat, hari ini aku duduk di
depanmu berjualan nasi dan ayam suir. Sungguh kuda hitam bukan, apa yang
kukatakan betul, orang luar biasa hanyalah orang biasa yang dipermak sedemikian
rupa agar orang mauu membeli Namanya, atau memperkosa identitasnya untuk lacur
dagangan. Jika saja ada yang mencatat kisah Bandit Tujuh Malan, atau Engkau,
Karsan, oh betapa remeh kisah John Kei. Tetapi sesuai kata pepatah, memang hidupmu
di pinggiran Sejarah, dan orang gonggong kafilah berlalu.
Sudah 3 tahun lebih, kiranya menurut perhitungan
tepatku kini, jika salah nanti bila sudi kamu bisa tanya ke Sudarsono,
barangkali ia belum mati. Atau jika sudah mendiang, tanya saja anaknya, karena
aku termasuk anak didik yang hebat. Tak mungkin namaku tidak tercatat di
perguruan itu, karena hanya aku, - sembari Karsan terkekeh – yang mampu
memiting kaki Sudarsono dalam suatu pertandingan. Ya, hanya 3 tahun, setelah
itu aku uji pengalaman dan mencari ilmu tambahan Jakarta. Aku pergi ke Jakarta,
dan rumah kutitipkan ke sepupu Ibu. Tahun 1992, Jakarta sudah keras, kata Kusno
teman perguruan. Ia sempat melancong 3 tahun, katanya di Jakarta, sebagai
pendekar engkau bisa berubah menjadi apa saja: Pendekar berwibawa yang ikut
kompetisi resmi, buron pemerintah – komplotan preman, atau Paspampres
sekalipun. Kata Kusno, beberapa Jawara direkrut secara resmi oleh Jenderal
Soeharto untuk mengawal asset-aset mereka di luar Jawa.
Siapapun kamu di Jakarta, jadilah dirimu, jika sulit,
carilah dirimu dahulu. Cari, jati, dirimu!. Kuhormati pesan itu dari Sudarsono
sebagai guru. Di padepokan, aku pernah membaca nasehat serupa, jika kebetulan
benar, itu kalimat dari Miyamoto Mushashi, seorang pendekar pedang Jepang.
Sebagai ronnin, ia menyepi jauh ke ujung hutan, setelah menyelami belantara
dunia pendekar Jepang dan muak karena penuh kebohongan. Ada banyak Samurai yang
menebas kepala manusia lain, bukan sebab itu harus yang dilakukan, melainkan
karena ia merasa dirinya sebagai Samurai melebihi orang biasa. Karenanya dalam
catatan harian, Mishima pernah menulis Kebenaran bukanlah apa yang kamu
inginkan; itu adalah apa adanya, dan kamu harus tunduk pada kekuatannya atau
hidup dalam kebohongan.
Jakarta Kota Keras, dan aku ingin
jadi apa? Hampir dua tahun lebih, hidupku terasa seperti jalan tanpa ujung. Apa
yang kulakukan, hanya belajar ilmu dari jenis aliran silat lain, melalui
pertarungan ke pertarungan. Waktu itu pertarungan jalanan, termasuk tarung
bebas yang memuat beragam macam aliran. Pernah hidungku suatu waktu hamper
pecah, jika aku tidak menyerah sebelum tinjuan terakhir. Nama
lawanku Boni, jago MuayThai jalanan yang dijuluki Anjing Liar. Setelah
kekalahan itu, aku merasa jengah, bagaimana rasanya jika anda seorang Singa
kalah hanya karena seorang Anjing. Meskipun aku, akui, anjing itu, si Boni,
memang Anjing Liar, tendangan kakinya macam manusia karet dan lentur seperti
penari balet.
Aku tidak boleh kalah untuk kedua kalinya. Ini
Jakarta, ini Kota Keras! Sekali lagi aku teringat Sudarsono dan kawanku yang
pernah plesir di Jakarta. Tahun 1999, Jakarta ramai Mahasiswa, macam dirimu
dulu, hanya saja mereka berbeda. Entah sebab pastinya apa, kata orang hari itu,
kami ramai-ramai harus pergi ke Istana untuk melalkukan demonstrasi. Sepanjang
jalan Veteran Kota Jakarta lautan manusia. Andai kamu berada di sana, wah,
sukar memastikan apa yang mereka inginkan sebenarnya. Tapi sepanjang Jalan,
spanduk dan pamphlet dibentangkan penuh tulisan, “Jatuhkan Soeharto dan Tangkap
Kroni—kroninya”. Aku tidak lama mengikuti acara itu, sebab aku mendaftar
kompetisi liga 1 untuk Matrial Art, kata Karsan. Hari itu, ia yakin akan
memenangkan kompetisi, karena habis sudah semua jurus dunia bela diri ia ramu.
Betul saja, katanya Karsan menang. Apa yang terjadi setelahnya, ia dikirim ke
Moskow untuk mewakili kontes Matrial Art Eropa Timur sebagai wakil dari
Indonesia.
“Habiskan dulu nasimu”, tegur Karsan kepadaku
“Biasa aku cerita berlebihan ke pelanggan, kadang
beberapa pelanggan menganggap aku pembual. Biasanya mereka tidak menanggapi,
tapi berbeda denganmu”
Sebetulnya aku setengah percaya dan tidak. Hanya saja
aku yakin, Karsan orang yang jujur. Meskipun aku memutuskan, tidak datang ke
warung karsan, jika urusanku sedang menumpuk. Berbincang dengan Karsan, hanya
boleh di waktu lenggang. Jika bukan, habis waktumu larut dalam dongeng
istimewanya, dan urusanmu tanggal tanpa sadar. Perasaan serupa ketika aku
membaca 1001 malam, saat Syahrazad yang gagal dipenggal karena Syahriar larut
dalam dongeng-dongeng ceritanya.
“Kamu pasti belum pernah ke Moskow kan?”
Piring makanan habis, obrolan habis kuhentikan, aku
harus istirahat menemani istriku di Kontrakan.
Sampai berjumpa lagi.

Komentar
Posting Komentar